kalam pencerahan
Prolog ; Dialog di SCTV dan Jajak Pendapat di Harian Kompas

Belum lama ini, sepulang dari kantor saya menyaksikan acara dialog pekanan di SCTV, beberapa jam menjelang pergantian hari. Tampil di layar kaca, petinggi tiga parpol besar, seorang pengamat dan pemandu dialog. Dialog berlangsung intens dan menyoal topik yang hangat dalam kancah politik yakni “reshuffle kabinet” pemerintahan SBY-JK. Pada saat dialog mengulas peluang dibentuknya “zaken cabineet” yang merupakan pengejawantahan menteri non-partisan dan non-parpol, serta merta petinggi parpol menegaskan bahwa “pemerintahan tidak akan jalan” karena DPR pasti akan “menjegal” semua usulan program pemerintah dan terutama dari kementerian.
Pengamat politik yang turut serta dalam dialog itu dan presenter acara, nampak jelas resah dan kecewa dengan statement petinggi parpol yang saling menegaskan bahwa “jatah menteri” tetap penting dibagi-bagi kepada parpol-parpol pengusung presiden terpilih. Terlebih lagi ketika para petinggi parpol tersebut menegaskan bahwa betapa pengorbanan mereka sudah teramat banyak dalam upaya mendudukkan presiden di posisinya selama pertarungan panjang Pilpres 2004, dan seharusnya hal tersebut layak “dibalas” dengan pemberian jabatan kementrian yang “strategis”. Soal kompetensi, para petinggi parpol tersebut menjamin bahwa mereka “punya banyak stock” kader yang kompeten dalam internal parpol mereka. Kekecewaan dan sinisme sang pengamat maupun presenter ini amat beralasan, karena mereka percaya bahwa inilah sesungguhnya pembenaran dari politik “dagang sapi” yang pasti berlangsung saat pasar sapi dibuka dimusim “reshuffle”. Pengamat dan presenter, yang sedikit banyak mewakili opini pemirsa, memahami bahwa sekompeten apapun kader parpol dalam menangani kementrian, tentu kalah kompeten dengan para pakar yang di kepalanya tidak terpasung oleh agenda titipan parpol, tetapi fokus pada pencapaian hasil, mutu, kinerja, dan profesionalisme untuk kemudian bertanggung jawab secara langsung kepada CEO-nya, yakni Presiden. Pengamat dan presenter, sama-sama mafhum bahwa kata-kata “balas jasa” atas kinerja parpol pada saat pilpres, dan “posisi strategis” kementrian, yang meluncur dari lisan petinggi parpol tersebut tak lain adalah soal perebutan sumber daya karena sumber daya, terutama finansial yang mencukupi, amat penting sebagai ongkos mobilisasi politik pada saat pemilu nasional, atau pilkada tingkat lokal digelar, agar mereka tetap langgeng di pentas politik nasional. Sumber daya tersebut juga bermanfaat, karena semakin penting posisi di kementrian yang diperoleh, maka tidak hanya posisi tawar parpol yang semakin tinggi namun beragam efek berantai bakal terjadi, mulai dari pengaruh yang dimiliki di tingkat eksekusi kebijakan, kucuran proyek strategis, hingga pada peningkatan kesejahteraan pengurus parpol yang terjamin secara otomatis. Namun sinisme dan nada kecewa dari presenter serta pengamat politik nampaknya gagal ditangkap para petinggi parpol dan lenyap ditelan arogansi petinggi parpol tersebut, yang menegaskan dan menempatkan diri sebagai “penentu” keberlangsungan pemerintahan sekarang, termasuk tentunya, agenda-agenda wellfare state. Sepanjang dialog, sang pengamat politik banyak tersenyum dan tertawa miris, sementara sang presenter berkali-kali terkejut tak habis pikir, sementara para pimpinan parpol tetap duduk dengan anggun sembari mengemukakan pernyataan yang mengundang rasa miris dan sinis dari pemirsa seperti saya.
Hal menarik justru saya dapatkan saat membaca hasil jajak pendapat dari Tim Litbang harian Kompas dan diterbitkan di harian yang sama pada edisi selasa, 20 Maret 2007 yang lalu, masih soal perlu tidaknya reshuffle kabinet. Pada point pertanyaan “Yakin atau tidak yakinkah anda, kabinet yang dibentuk tanpa melibatkan orang-orang Partai Politik, akan lebih efektif dalam menjalankan tugas-tugasnya ?” ternyata sebagian besar (52,9%) dari 836 responden menjawab “yakin”. Responden, umumnya (54,8 %) menyatakan dengan jelas parpol pilihannya pada saat Pemilu 2004, sehingga bolehlah kita berasumsi bahwa responden adalah kader, atau setidaknya simpatisan dari parpol besar seperti ; Golkar, PDI Perjuangan, PKB, PPP, Partai Demokrat, PKS, dan PAN. Bayangkan, kader parpol pun ternyata umumnya lebih meyakini bahwa anggota kabinet tidak perlu sepenuhnya “orang partai”. Bagi seluruh responden pada jajak pendapat, perbaikan pada bidang vital seperti Politik dan Keamanan, Ekonomi, Penegakan Hukum, serta Kesejahteraan sosial perlu disegerakan, dan tidak penting dari parpol manakah menterinya. Apakah ini dapat diterjemahkan sebagai rendahnya kredibilitas dan kinerja kader partai di kabinet ?

Demokrasi dan Partai Politik di Indonesia, 1945

Pada tanggal 5 November 1945, beberapa waktu setelah pendaratan pasukan sekutu ke Indonesia, atas inisiatif Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia yang belum lama dilantik, diumumkanlah Maklumat Wakil Presiden tentang pembentukan partai-partai politik, dan menegaskan bahwa sistem pemerintahan yang akan dijalankan di Republik muda ini adalah Demokrasi Parlementer. Ini merupakan langkah politik yang agak mengejutkan karena beberapa waktu sebelumnya, diantara bentuk-bentuk pemerintahan yang dapat dipilih, bentuk Demokrasi Presidensiil tampak lebih “seksi” dalam diskusi-diskusi yang mengemuka diantara founding fathers Republik, terutama, tentu saja, Ir Sukarno sang Presiden yang dipilih secara aklamasi 2 bulan sebelumnya.
Dalam konteks gelombang demokratisasi yang semakin menguat bersamaan dengan meletusnya Perang Dunia II pada waktu itu, jelaslah bahwa langkah Drs Mohammad Hatta, wakil presiden yang mengumumkan maklumat tersebut merupakan langkah berani, bahkan dikemudian hari, beliau mengatakan bahwa langkah itu bersifat “setengah kudeta” karena mampu melampaui kewenangannya sebagai wapres. Langkah cerdik dan berani ini jelas terbukti mampu menyelamatkan “muka” republik yang baru saja berdiri di dalam konstelasi politik dan diplomasi Internasional. Jika saja maklumat tersebut tidak jadi atau terlambat diterbitkan oleh pemerintah Indonesia kala itu, maka tentara pendudukan Sekutu sebagai pemenang sah perang Dunia II yang mengalahkan Jepang, dapat saja menangkap Sukarno-Hatta, dan pemimpin pergerakan lainnya dengan tuduhan penjahat perang, karena politik kooperatif yang dijalankan oleh Sukarno, Hatta dan beberapa pemimpin pergerakan lainnya selama Jepang menduduki Hindia Belanda. Perlu diingat, bahwa Sukarno mengakui dalam memoarnya “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” bahwa dialah yang paling bertanggung jawab atas pengerahan dan kematian ribuan tenaga romusha, selama pendudukan jepang. Jika saja bentuk pemerintahan yang disepakati founding fathers adalah demokrasi presidensiil, atau bahkan kerajaan, dapat dipastikan pasukan sekutu akan meringkus founding fathers republik dengan status penjahat perang atau petualang politik yang hanya mementingkan pencapaian kekuasaan semata, dan anti demokrasi. Sementara, pasukan sekutu yang dimotori Amerika Serikat dan Inggris, selalu menjadikan isu demokratisasi sebagai “dagangan utama” dalam setiap perang pendudukan yang dilancarkannya, hingga hari ini.
Begitulah akhirnya, sejarah mencatat bahwa pasukan sekutu datang ke Indonesia “hanya” utuk melucuti dan menawan tentara Jepang dan tidak terlalu “ngotot” bicara soal tema-tema “pendudukan”, atau “pengembalian kekuasaan seperti sebelum pendudukan jepang”. Meski pasukan Belanda “nekat” hendak menduduki kembali Hindia Belanda, sesuai dengan perjanjian Postdam 1945. Hal itu tidak pernah terjadi, karena Belanda, setelah mendapat tekanan keras dunia Internasional terutama dari Asia, Afrika, Amerika dan Australia akhirnya mengakui Indonesia minus Irian Barat, sebagai Republik yang berdaulat pada 19 Desember 1949. Amerika Serikat, dan Australia, merupakan dua negara “barat” yang cukup banyak membantu republik Indonesia di masa awal, baik dalam pembentukan KTN sebagai mediator konflik Indonesia-Belanda, atau mendukung lahirnya UNCI di PBB. Diplomat Australia, juga gencar menolak anggapan diplomat Kerajaan Belanda bahwa pemerintahan RI adalah “ekstrimis” dan pengacau keamanan, serta yang paling nyata adalah gebrakan Pemerintah Amerika dengan melakukan penghentian pemberian bantuan Marshall Plan bagi Belanda. Keyakinan dua negara berpengaruh ini, didasarkan atas laporan-laporan intelejen mereka bahwa Demokrasi telah tumbuh di Indonesia sejak mula-mula republik ini lahir, dan alasan inilah yang membuat Amerika dan Australia memberi dukungan-dukungan yang amat berarti dalam konteks perjuangan diplomasi di masa-masa awal republik. Akan halnya maklumat wakil presiden tersebut, maka maklumat wakil presiden tentang pemberian peluang kepada masyarakat Indonesia untuk mendirikan Partai Politik, dicatat sejarah sebagai bagian dari deretan “Peraturan-peraturan awal” sekaligus tonggak demokrasi di Republik Indonesia.


Demokrasi dan Partai Politik di Indonesia, 2006

Hari-hari belakangan ini, muncul gejala-gejala yang mengkhawatirkan bagi proses demokratisasi di Indonesia. Ditengah gencar-gencarnya banyak kalangan menyuarakan tema-tema global yang “selangkah lebih maju” daripada tema Demokratisasi seperti ; Perlawanan terhadap Korupsi, Civil Society, Good Governance, Transparansi, Accoutability, Partisipasi masyarakat Sipil, dan lain-lain, tingkat kepercayaan masyarakat kepada Partai Politik justru menurun drastis. Salah satu indikator nyata dalam gejala ini adalah statistik partisipasi Rakyat dalam Pemilihan Umum atau Pilkada justru menunjukkan penurunan. Meski sikap anti-partai bukan satu-satuny penyebab penurunan partisipasi, namun ada kasus menarik di Aceh.
Di Pilkada Gubernur Aceh, perolehan suara dari calon independen justru mendominasi dibanding calon-calon yang didukung “mesin” parpol. Kebencian publik kepada elite-elite parpol juga cenderung memuncak akhir-akhir ini, dibuktikan dengan sumpah serapah dan cemooh publik yang marak di media ketika diberitakan bahwa sebagian besar anggota DPRD se-Indonesia yang nota bene adalah kader parpol tingkat wilayah atau daerah, ramai-ramai ngeluruk ke Jakarta, menginap di hotel mewah, untuk menolak revisi PP 37/2006. Hal demikian terjadi saat sebagian wilayah Jakarta dilanda banjir besar. Sinisme publik kepada elite parpol jelas bermuara pada trust. Sebagai wakil rakyat, mereka yang duduk di lembaga legislatif adalah orang-orang yang diberi kepercayaan oleh konstituennya untuk memperjuangkan agenda-agenda komunitas yang diwakilinya. Ketika proses demikian tidak terjadi, maka apatisme dan sinisme publik merebak dimana-mana. Posisi sebagai anggota dewan yang pada dasawasa lalu masih dianggap posisi yang terhormat, kini dipandang profesi biasa, atau bahkan dilaknat sebagai biang kekisruhan politik, macetnya agenda-agenda pembangunan, macetnya arus dana-dana yang seharusnya segera sampai ke publik, dan lain-lain disebabkan panjang dan berbelitnya proses kompromi politik maupun belum selesainya produk legislasi yang memayungi tata-laksana suatu kebijakan publik. Kemacetan proses politik akibat lambannya pihak legislatif dalam bekerja, atau tidak kompetennya eksekutif tingkat menteri titipan parpol karena persoalan buruknya kinerja dan kompetensi, menjadikan opini publik atas parpol semakin buruk. Arogansi (izinkan saya menyebutnya demikian) parpol yang ngotot ingin memasukkan kadernya dalam struktur Kabinet Indonesia Bersatu seiring derasnya desakan reshuffle kabinet yang juga diteriakkan lantang oleh Parpol, jelas membuat publik dan terutama pengamat politik menjadi semakin jengah, lalu perlahan, muncullah sikap sinisme yang dibarengi apatisme. Mentalitas demikian muncul karena terjadi diskontinuitas dan kesenjangan saluran aspirasi antara kehendak publik yang sesungguhnya, dengan kehendak parpol yang mengatasnamakan publik. Perlahan namun pasti, akan tiba masanya bahwa publik tidak lagi merasa terwakili oleh Partai Politik, dan serta merta gelombang ketidakpuasan publik segera menjelma menjadi sebentuk opini-opini yang menguat dari sekedar word level (aras kata) menjadi work level (aras tindakan). Bentuk aksi-aksi yang berbahaya bagi kelangsungan demokrasi adalah meningkatnya jumlah kelompok perlawanan anti parlemen, dibarengi dengan dukungan media massa yang beropini sinistik terhadap lembaga parlemen, sehingga menggiring masyarakat untuk menolak memberikan suaranya dalam kotak-kotak suara pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ini mungkin saja terjadi, karena secara teknis, UU Pemilu mengatur bahwa pemilihan Presiden-Wakil Presiden, tidak bersamaan dengan Pemilihan DPR-DPRD dan DPD. Lebih jauh lagi, surat suara antara DPRD-DPR dan DPD berbeda dan dalam lembar terpisah. Rakyat bisa saja melakukan perlawanan dengan menolak mencoblos wakil parpol, tetapi mencoblos anggota DPD dan Presiden-Wakil Presiden. Skenario demikian dapat saja terjadi. Biar bagaimanapun, rakyatlah yang punya kuasa di dalam sistem demokrasi, meski pada akhirnya pilihan rakyat nanti dapat juga mengubur demokrasi itu sendiri dan berganti dengan totaliterianisme.

Hancurnya Parpol berarti Matinya Demokrasi

Sinisme publik atas parpol, tentu saja menimbulkan persoalan yang tidak dapat dipandang sepele. Keberadaan lebih dari satu Partai politik dalam suatu negara, merupakan salah satu “instrumen konfirmasi” dari sistem demokrasi, disamping terselenggaranya pemilihan umum secara berkala, dan keterwakilan publik dalam lembaga legislatif yang nantinya memproduksi seperangkat aturan soal ke arah mana suatu bangsa dan negara akan melaju dan berkembang. Saya menyebut “instrumen konfirmasi” karena keberadaan parpol, lembaga legislatif, dan proses pemilu adalah sarana dan perangkat utama untuk menandakan bahwa demokrasi, secara formal masih “ada” di suatu negara meski instrumen-instrumen tersebut tidak menjamin bahwa demokrasi benar-benar ditegakkan secara konsisten dan berkelanjtan di suatu negara. Pada beberapa negara totaliter, instrumen itu tetap ada, tetapi tidak terjadi proses demokratisasi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena gerakan oposisi ditindas dan dilarang, pers diberangus, transparansi tidak dijalankan, akuntabilitas tidak terjadi, dan partisipasi sipil dipersempit, sementara militer memegang kendali penuh atas nama stabilitas nasional dan pembangunanisme. Pemerintahan totaliter, tidak muncul secara serta-merta, tetapi ia muncul secara bertahap dan merangkak, menyelinap ditengah sinisme dan kegelisahan publik atas kebuntuan politik, kekisruhan dan krisis ekonomi berkepanjangan. Pola-pola kemunculan pemerintahan totaliter membutuhkan beberapa pra-kondisi, dan gejala awalnya dari tiga hal utama penyebab munculnya pemerintahan totaliter adalah timbul dan meluasnya public unrest, adanya ekspektasi masyarakat yang terlalu tinggi terhadap presiden terpilih atau figur pemimpin tertentu, dan ketidaksabaran militer dalam mengikuti irama langkah politik sipil. Agenda pertama dan utama dari sebuah pemerintahan totaliter adalah pengharaman atas segala bentuk oposisi, dan pengebirian partai-partai politik, karena hanya dengan cara demikianlah Parlemen dapat “diatur”, sehingga diharapkan “kekisruhan” politik mereda, bursa saham semarak kembali, pembangunan terlaksana dan stabilitas terjaga.
Logika publik demikian dapat muncul dan menjadi virus politik yang mematikan demokrasi, hngga memunculkan totaliterianisme dalam berbagai model dan bentuk, namun pola dan cirinya yang menindas tetap sama. Corak totaliterianisme memang pernah muncul di Indonesia, bahkan dua kali. Pertama, terjadi pada saat doktrin “Demokrasi Terpimpin” yang dicetuskan Sukarno sebagai reaksi akibat kebuntuan politik di level legislatif saat perumusan UUD pengganti UUD 1945. Eksperimen Totaliterianisme ini menyeret Indonesia menuju keterbelakangan dan keterasingan diplomatik. Kedua, terjadi pada saat “kudeta merangkak” yang memunculkan pemerintahan totaliter Orde Baru, dan menganut sistem Demokrasi Pancasila, yang pada hakikatnya adalah “Demokrasi Terpimpin-Konstitusional” berdoktrin Stabilitas dan Pembangunanisme, namun sarat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang akhirnya nyaris membuat Republik ini bangkrut dan tenggelam untuk kedua kalinya, sebelum akhirnya gelombang Reformasi datang “menyelamatkan” bangsa dan negara dengan menggiring demokratisasi ke permukaan. Pengalaman buruk atas kemunculan Totaliterianisme ini seharusnya menjadi pelajaran berharga dalam pentas politik Nasional kita, dan para politisi yang sejatinya adalah kader parpol atau representasi kelompok kepentingan, sudah selayaknya terdewasakan oleh pengalaman lampau yang demikian.

Epilog ; Selamatkan Parpol, selamatkan Parlemen, selamatkan Demokrasi


Di alam Demokrasi, terdapat peluang melimpah ke arah pertumbuhan, kemakmuran dan pendewasaan sebagai bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Kualitas pelaksanaan demokrasi adalah salah satu tolok ukur penting yang membuat seberapa terhormat dan seberapa banyakkah peluang pertumbuhan ke arah kemakmuran yang tersedia. Demokrasi dan pertumbuhan ekonomi memang sulit untuk dibahasakan terpisah, meski pertumbuhan kwalitas salah satunya belum tentu menjamin perbaikan kwalitas di sisi lainnya. Namun, tidak ada yang meragukan bahwa hanya di iklim demokrasilah, segalanya memiliki kesempatan yang sama untuk dapat tumbuh dan berkembang, termasuk pemberian kesempatan bagi orang-orang yang anti-demokrasi agar boleh terus hidup, berkembang dan berkarya dengan bebas dan terjamin hak kebebasannya. Demokrasi karenanya mensyaratkan adanya gerakan oposisi yang dalam fungsi dan koridor etisnya adalah untuk memastikan bahwa kehendak rakyatlah yang senantiasa menjadi acuan utama tentang kemana arah berjalannya roda pemerintahan. Demokrasi, juga mensyaratkan adanya lembaga perwakilan rakyat yang merupakan representasi dari kehendak masyarakat suatu negara. Demokrasi, juga menghedaki adanya kelompok-kelompok masyarakat yang terhimpunkan oleh kesamaan agenda, kesamaan tujuan dan asas. Kelompok-kelompok ini biasanya berhimpun dalam Partai Politik, dan mereka diperbolehkan mengirimkan wakil-wakilnya yang terpercaya untuk duduk bersama dengan wakil-wakil dari kelompok lain, membahas permasalahan bangsa, merumuskan jaan keluar, dan tak kalah penting, turut ikut serta memastikan agar agenda-agenda bersama yang sudah disepakati dijalankan dengan baik dan benar.
Krisis kepercayaan yang dihadapi oleh Partai Politik, adalah masalah utama dalam kehidupan kita sebagai bangsa yang bersepakat menjalani sistem Demokrasi. Partai Politik hendaknya menyadari akan perlunya dengan segera untuk melakukan serangkaian langkah perbaikan Internal, agar citra yang memudar kembali cemerlang. Dibutuhkan keberanian untuk membersihkan kalangan partai politik dari bandit-bandit yang mencari keuntungan finansial dengan memperalat partai dan massa. Boleh jadi, masuknya para bandit tersebut adalah karena orang-orang baik seperti anda, lebih memilih berkeluh kesah saat krisis politik ini mendera dan bukannya terjun langsung sebagai kader di salah satu partai dengan missi utama mendepak para bandit tersebut dan bekerja keras menyelamatkan demokrasi yang benihnya ada pada eksistensi Partai Politik. Wallahu a’lam..


Penulis adalah warga negara Indonesia penikmat kehidupan demokratis di negerinya.
Kini tinggal di Cijantung.
Ditulis pada 20 Maret 2007, dipublikasikan di KALAM pada 25 Desember 2007.
|
0 Responses

Posting Komentar

kirimkan tanggapan anda