kalam pencerahan
Prolog ; Saat Mulai Jadi Guru

Saya mulai diamanahkan menjadi Guru Sejarah di SMP Internat Al Kausar pada hari Senin, 2 Agustus 2004. Tapi hari Rabu-nya saya mendapat S.K yang bunyinya “Sdr Rahmat Akbar, S.Pd ditugaskan sebagai Tenaga Pengajar di unit SMP da mengampu 2 (dua) mata pelajaran ; Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah untuk kelas 1,2 dan 3” Alasannya cukup jelas, Pak Firin, kepsek SMP tidak ingin lagi mengajar PKn karena kesibukan beliau sebagai Kepsek. Wah, gawat nih, saya tidak mempersiapkan diri untuk mengajar PKn. “Ah, nggak apa-apa, khan bisa dipelajari sambil jalan” kata Pak Firin. Saya tetap khawatir campur kaget, karena buat saya, ini masalah komitmen professional yang sudah seharusnya disiapkan sejak semula.

Hari pertama, semua murid datang terlambat, dan 5 dari 17 anak kelas I.A sakit dan nggak berangkat ke sekolah yang jaraknya cuma 150 meter dari tempat tidur mereka. Kelas I.B, jumlah yang sakit cuma 2 orang. Kelas 2 dan kelas 3, masuk dengan pakaian tidak rapi dan kelihatan kurang tidur. Percakapan dengan murid saat break snack pagi membuat saya terheran-heran dengan statement mereka yang beragam saat saya tanya mengapa banyak yang sakit di hari pertama ini, dan mengapa banyak yang terlambat serta tidak nampak rapi dalam berpakaian. Saya heran dan bertanya dalam hati, “ada apa dengan Asrama ?”. Saya niatkan, hari ini juga saya harus berkunjung ke asrama. Sorenya saya menuju Asrama SMP, hanya menjadi pengamat. Anak-anak berlarian, suara riuh hasil perpaduan nada dribbling bola basket, menggiring dan menyepak bola kaki, beberapa berteriak kesakitan karena bercanda (yang kelewatan, menurut saya) bercampur baur. Makanan tumpah dimana-mana, bungkus mie instant berserakan beserta bungkus snack lainnya, sementara air tergenang di beberapa sudut terutama di sekitar dispenser air. Disalah satu sudut lantai dua dekat tempat sampah dan dispenser, teronggok kotak-kotak makanan kantin yang mulai berjamur dan bau busuk. Becek, kotor, kumuh dan ribut kalau sore, kata Pak Bahar (Ka.Asrama waktu itu) adalah hal yang biasa. Saya jadi ingin tahu banyak tentang bagaimanakah anak-anak ini menjalankan kehidupnya di Asrama, terutama di malam hari. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidur bersama anak-anak disana malam itu juga.

Kondisi malam hari (2 Agustus 2004) tidak kalah memprihatinkan. Kotoran sore hari tadi tidak disingkirkan oleh pembina asrama (karena kata beliau itu bukan tugasnya) sementara petugas Cleaning Service juga tidak mau membersihkan (karena sudah lewat jam kerja yang berakhir sejak pukul 16.00 sore, kecuali ada perintah lembur, kata pak Tino kepala Cleaning Service). Dari Pak Tino saya mengetahui bahwa jam kerja Cleaning Service sesuai aturan yang ditetapkan di Al Kausar adalah jam 07.00 hingga 16.00. Beliau menjamin bahwa selama rentang jam kerja tersebut, kebersihan asrama dapat beliau jamin. Ini berarti asrama hanya bersih pada saat tidak ada satupun anak yang berada disana. Sehingga tiap malam anak-anak tidur beserta sampah dan rupa-rupa kotoran. Belum lagi banyaknya kelelawar dan burung walet, burung sriti atau burung pipit yang beterbangan dan membuat sarang di enternite gedung asrama. Jelas ada yang salah dengan cara Asrama ini dikelola.

Malam pertama saya di Asrama Al Kausar juga memberi keterkejutan sendiri. Sepanjang malam, terjadi dua kali perkelahian, satu di koridor kelas 1 antara Dante asal Banjarmasin, anak petinggi TNI disana dan Savero, anak Jakarta, putra petinggi POLRI. Awalnya sederhana, pinjam pulpen tidak diberi lalu saling ejek nama ayah sampai berlanjut pada tahap saling mengejek institusi si bapak. Tak lama perkelahian terjadi, namun belum dua menit keduanya saya tarik keduanya ke salah satu kamar, didamaikan dalam keadaan menangis, lalu masalah selesai. Hubungan keduanya baru dapat membaik setelah lewat dua pekan, saat kompetisi Bola setelah sebelumnya masing-masing pihak megorganisir kawan lainnya untuk memboikot dan memusuhi yang lainnya. Perkelahian kedua dimulai dengan cekcok mulut biasa antar teman kelas 2 (Bayu dan Naufal) di WC yang cuma berlangsung satu menit, karena tidak sempat terjadi kontak fisik. Pak Yusuf melerai sebelum peluang kontak fisik terjadi antar mereka. Apapun bentuknya, agresi terhadap kawan merupakan ancaman serius bagi semua upaya harmonisasi kehidupan di Asrama, terutama jika terjadi di kelas 1 yang masih rapuh dan belum terbentuk komunitas yang solid. Wah gawat, kelas 1 yang gamang dan rawan dibiarkan sendirian tanpa ada model pendampingan. Benarlah kekhawatiran saya, karena karena hari-hari berikutnya bullying menimpa sebagian kelas 1 yang dianggap “kurang hormat’ kepada seniornya, mereka juga kerap menjadi sasaran pemalakan makanan maupun uang oleh kakak kelasnya, biasanya terjadi beberapa jam setelah kunjungan dwi pekanan orang tua selesai.

Jam 2 pagi (3 Agustus 2004) saya keliling seluruh kamar di koridor kelas 1,2, dan 3. Diantara kamar yang berantakan itu, ada kamar yang berisi 6 murid, dan tidur di bawah (bukan di kasur). Saat saya bangunkan, mereka bilang bahwa mereka takut akan ada hantu di kamarnya, jadi tidur bergerombol. Ada pula kamar yang baunya pesing. Si A ngompol. Kawannya yang nggak bisa tidur karena bau pesing itu bertutur bahwa Si A hampir tiap malam ngompol (mereka sudah sepekan disana sebelum saya mengajar mereka, karena tiap tahun sebelum tahun ajaran baru dimulai diselenggarakan MOS bagi murid baru). Saat saya bangunkan, ia bercerita bahwa selain karena takut ke WC, ia juga punya kebiasaan ngompol sejak kecil, dan setelah teraphy sekian tahun, pada kelas 5 SD dinyatakan sembuh. Lantaran takut, ia sudah 8 hari ini rutin ngompol di kasur. Ketakutan ke WC juga yang menyebabkan si B, siswa kelas 2 mengaku sudah berkali-kali menyimpan air kencingnya di botol minuman atau bekas Pop Mie jika malam hari atau subuh dia kebelet kencing, tetapi takut ke WC karena susananya sepi dan nampak seram. Malam itu saya juga mendapati ada murid yang sakit perut karena lapar belum makan malam. Ia bertugas piket jaga (Harris, istilah yang dipakai di Al Kausar-dari bahasa arab yang artinya petugas jaga-) di asrama saat maghrib tadi, tapi tidak ada satupun murid yang membawakannya makan malam karena temannya yang dititip pesan lupa. Dia juga tidak shalat Maghrib dan Isya karena sibuk “menjaga asrama”. Masalah baru segera nampak dimuka, bagaimana menjamin suasana asrama yang nyaman lahir bathin bagi semua yang tinggal disana.

Saat subuh saya membantu pembina lainnya membangunkan para murid. 15 anak menolak berangkat ke Masjid dengan alasan sakit. Hanya 2 anak yang dibolehkan untuk tidak ke Masjid karena memang sakit betulan. Lainnya tetap berangkat namun terlambat dan harus kena hukuman. Selesai shalat shubuh, mereka dibagi berkelompok untuk melaksanakan Tahfidz Al-Qur’aan hingga pukul 06.00 pagi. Agenda berlanjut dengan sarapan pagi. Menunya roti tawar, selai, telur dadar dan susu sapi murni. Setelah izin ke petugas kantin (Pak Robiman Kholil namanya, namun biasa dipanggil anak-anak Pak Robin) untuk meminta selapis roti dan telur, saya ikut duduk makan bersama murid kelas 3. Makan pagi itu diwarnai suasana hiruk-pikuk dan jelas meja-meja berantakan, padahal beberapa menit sebelumnya sebagian besar murid mengikuti tahfidz dengan kantuk berat, dan malas. Hal menarik lainnya adalah pada saat petugas kantin mencemberuti dan menegur seorang guru yang dianggap mengambil roti dan selai terlalu banyak (lima tumpuk, untuk keluarga di rumah, katanya). Teguran itu disahuti oleh beberapa murid dengan umpatan “Whuu, bapak maruk !”. Pak Guru tersebut menanggapi dengan cengiran dan timpalan kata “biarin !”, Saya sulit menerima sikapnya, karena bagi saya hal ini adalah masalah integritas guru, yang jelas akan berimbas pada kurangnya rasa hormat dari murid dan seluruh staf kantin. Saya mendapati pembenarannya saat dialog dengan staf kantin beberapa hari setelahnya bahwa hal serupa juga terjadi pada sebagian guru, jadi tidak hanya sikap satu atau dua orang. Saya baru ketahui juga bahwa segalanya dijatah di kantin, jadi jika ada yang mengambil melebihi kuota maka akan mengancam jatah milik orang lain, baik murid, guru atau karyawan kantin. Ada hukum tak tertulis, bahwa karyawan kantin harus siap menjadi pihak yang paling menderita dengan kehilangan jatah pada saat situasi demikian terjadi. Usai sarapan, pada pukul 06.30 para murid dan guru tahfidz serta pembina asrama bersiap ke sekolah. Saya kembali ke Mess Guru di belakang sekolah (sekarang ditempati Bpk Hamdi Ridho, Guru SMA).

Jam 06.50 saya bersiap dimuka kelas, dan baru 2 murid yang berada di sekolah. Pukul 07.15, bel sekolah berbunyi dan dari 17 murid, hanya 8 anak yang siap menerima pelajaran. Sisanya mesti diproses oleh Tim Gerakan Disiplin Sekolah karena terlambat datang. Mereka lari keliling sekolah beberapa kali, yang banyaknya berbanding lurus dengan jumlah menit si murid terlambat datang. “Ah ini sih hal biasa disini pak Rahmat” kata Pak Hanafi, Humas Al Kausar dan salah seorang anggota Tim GDS. Murid terhukum baru masuk ke kelas sekitar pukul 08.00, tentu dengan kondisi yang tidak siap menerima pelajaran karena kelelahan hingga saat break sack pagi jam 09.30. “Baiklah anak-anak, karena sebagian teman terlambat, izinkan saya memperkenalkan diri, nama saya Rahmat”. Saya juga menetapkan standar aturan baku yang bisa dirubah sesuai kesepakatan, namun ada satu aturan yang tidak bisa dilanggar “Jangan sekali-kali memanggil Pak kepada saya. Panggillah dengan sebutan Kak. Saya belum cukup tua, dan saya rasa kita bisa saling lebih rileks dengan panggilan itu”. Saya ingin memahami murid saya, dan saya juga ingin dipahami oleh mereka, itu alasan utama saya. Persoalan anak terlambat, ternyata berimbas besar karena performance akademiknya cenderung menurun, meski secara fisik anak yang rajin terlambat lebih kuat dan lincah dibanding anak yang tidak pernah terlambat. Guru yang mengajar di jam mata pelajaran awal, juga rugi karena musti memberi pengayaan tambahan bagi mereka yang jarang masuk di awal pelajaran. Perlu ada sistem terintegrasi yang memastikan murid tidak lagi terlambat datang ke sekolah. (Kesimpulan ini saya presentasikan dalam Majelis Guru “Selasaan” setahun kemudian).

Shalat dzuhur dilaksanakan sekitar jam 12.00, dan masalah lain timbul lagi. Para murid, meski bersemangat meninggalkan sekolah menuju masjid, namun sesampainya di Masjid mereka tidak langsung berwudlu dan shalat. Ngobrol dan bercanda di dekat ruang wudlu, hingga saat iqomat dikumandangkan, barulah mereka berwudlu dengan sangat cepat tanpa memperhatikan kaidah wudhu. Selesai Shalat, kekurangan rekkat juga dikebut karena biasanya sebagian mereka terutama kelas 2, masbuk 1 rekaat. Selesai dzuhur saya tidak ada jam mengajar, maka saya putuskan mengunjungi perpustakaan. Ditempat yang buku kependidikannya jauh lebih banyak dan kaya materinya daripada perpustakaan kampus saya di Rawamangun, saya mulai menginventarisir masalah di sekitar saya, dan apa saja yang mungkin saya lakukan dalam mengurangi masalah tersebut sesuai kapasitas dan kewenangan saya. Siang itu, bayangan positif saya tentang Al Kausar yang begitu hebat sebagaimana digambarkan oleh Pak Rahmat (Staf Renbang-Al Kausar, senior saya sewaktu di IKIP Jakarta) dan Pak Habib saat wawancara lisan calon Guru baru segera saja sirna, berganti dengan tantangan baru yang memancing semangat tempur saya.

Epilog ; Inovasi dan Aksi


Setelah melakukan pengamatan sambil merancang program yang makan waktu selama 2 bulan, saya mulai mendekati hampir semua pihak yang ada di Al Kausar, dari Cleaning Service (saya hafal nama-nama mereka) hingga Direktur Eksekutif dan Pak Muchsin Mochdar, pemilik dan pendiri Yayasan ABA (Holding Internat Al Kausar). Bulan ketiga, saya mengkampanyekan “Al Kausar yang nyaman untuk semua”, dengan fokus pada Asrama. Alasannya cukup jelas, karena sebagian besar waktu murid SMP Al Kausar (dulu belum ada SMA) dihabiskan di Asrama. Sehingga, sebagian besar masalah kemuridan bersumber awal dan terjadi di Asrama. Advokasi berikut ini saya jalankan sambil berprogram di asrama SMP.

1. Saya menyelenggarakan Focus Group Discussion, sebagai bagian dari inovasi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Pokok Bahasan Demokratisasi dan Sistem Pemerintahan) bagi kelas 2 dan 3 SMP. FGD diarahkan pada pertanyaan pokok, Bagaimana mewujudkan asrama yang nyaman untuk semua ?. Para pembina dengan kebesaran hatinya, mengikuti tiap tahapan dan mau duduk semeja dengan murid. Tercapai konsensus tentang pembagian peran dan penyusunan peraturan asrama yang mengikat bagi siapapun yang tinggal disana.

2. Dalam forum itu saya memperkenalkan Room Repport (Penilaian Kamar), dengan instrumen yang disepakati antara murid dan pembina asrama. Seorang murid akan tidak naik kelas karena PKn-nya bernilai 5, dan jika nilai kamarnya buruk selama satu semester. Penilaian dilakukan harian, setiap pagi dan malam, dan progress report dipajang di mading asrama sepekan sekali di hari Ahad, saat kunjungan orang tua (supaya ada kebanggaan di sisi murid, disamping sebagai sarana publikasi kinerja staf asrama agar citra positif atas kinerja pembina juga terbentuk di mata orang tua) Saya juga mendorong pembina untuk memberi rewards bagi tiga kamar berperingkat terbaik di tiap kelas pada tiap bulannya. Dananya diambil dari kas asrama, ditambah uang denda yang dibayarkan murid setiap pelanggaran kebersihan yang dilakukan (bagi staf asrama ini berarti tidak perlu keluar uang banyak untuk rewards, dan bagi murid, hal ini merupakan tantangan agar mereka serius dengan project ini). Disepakati pula bahwa pihak pembina asrama akan memberikan sapu baru dan tempat sampah baru bagi tiap kamar. Saat itu hari Jum’at, dan program baru dilaksanakan pada hari Senin, 1 November 2004. Berarti ada waktu dua hari bagi masing-masing pihak untuk menyiapkan diri dalam menjalankan kesepakatan ini. Hari Ahad adalah saat kunjungan dwipekanan bagi para orang tua murid. Saat itu saya sampaikan rencana ini kepada beberapa orang tua kelas 1. Salah seorang dari orang tua murid asal Bandung sangat antusias akan rencana saya ini dan sorenya ia kembali ke asrama dengan membawa 26 buah bak sampah plastik berkwalitas baik, sumbangan bagi asrama sebagai bentuk dukungan program ini.

Dalam sepekan, hasil dari program ini sangat nyata. Asrama berubah menjadi tempat yang bersih dan wangi aneka buah dan bunga, karena para murid tidak hanya menyapu dan mengepel kamar-kamar mereka, namun juga meyemprotkan pewangi ruangan tiap pagi dan sore. Dalam dua bulan berikutnya hasilnya signifikan, karena jumlah anak yang sakit berkurang, dan beberapa murid yang menderita alergi pernafasan(seperti yang diderita oleh Dika Danial-kelas 1), juga semakin membaik laporan kesehatannya. Raport kamar dijalankan secara konsisten. Dua pekan pertama saya dibantu seorang pembina menilai langsung ke kamar-kamar. Masalah timbul saat saya jadi sering kena tegur Kepsek karena datang telat untuk mengajar karena penilaian kamar biasanya selesai jam 07.30, ini berarti pada hari selasa dan kamis disaat giliran mengajar jam pertama saya harus terlambat 15 menit. Pekan ketiga, saya menunjuk beberapa murid sebagai penilai kamar (tiap jenjang kelas 2 murid, dan kelas 1 menilai kamar kelas 2, kelas 2 menilai kamar kelas 3, sementara kelas 3 menilai kamar kelas 1). Baru sepekan berjalan, timbul keluhan dari kelas 1 yang cenderung diintimidasi seniornya agar mencatat nilai tinggi bagi kamar seniornya, demikian juga kelas 2 yang diintimidasi kelas 3. Sementara, ada laporan bahwa seorang murid kelas 3 mencuri stock makanan ringan milik kelas 1 saat mereka melakukan inspeksi kamar kelas 1. Perlu sedikit akrobat sistem. Di pekan Keempat atas usulan pak Bahar (kepala Asrama waktu itu), dan ditambahkan rupa-rupa penyempurnaan ide oleh pembina lainnya dalam sebuah diskusi informal di Kantor Asrama pada Sabtu Sore, 20 November 2004 diputuskan bahwa mulai Senin besok, penilai kamar dibentuk berdasarkan grup. Ada empat grup beranggotakan 3 anak yang terdiri atas kelas 1,2 dan 3 dan didampingi pembina yang piket untuk menilai kamar. Pak Bahar bersedia mengatur jadual gilir bagi murid yang bertugas menilai kamar. Sistem ini berjalan dengan sangat baik. Kehadiran Ibu Titiek dalam kapasitas sebagai Ibu Asrama sangat membantu tegaknya sistem ini. Sistem ini masih tetap berlangsung hingga saat saya meninggalkan Al Kausar pada awal tahun ajaran baru 2006.

Persoalan keterlambatan, baru muncul pemecahannya saat saya sudah 1 semester di Al Kausar. Kolektivisme yang sangat kuat antar kelompok guru wali (kelompok murid beranggotakan 10 orang, yang diasuh dan dibina oleh seorang guru pria) adalah asset berharga di Al Kausar dan dalam event tertentu semacam lomba-lomba, menjadi seperti trademark bagi murid maupun guru. Bersama Pak Rafiq, saya menggagas dan menyusn formulasi agar keberangkatan murid dari asrama menuju sekolah diatur per guru wali. Murid berangkat per 10 orang. Yang boleh berangkat adalah yang anggota guru walinya telah lengkap, dan bagi yang belum lengkap dilarang berangkat. Hal ini memacu kekompakan murid, dan rasa tanggung jawab. Sementara murid yang cenderung malas akan mendapat teguran keras atau sanksi sosial dari temannya karena gara-gara dialah (misalnya) seluruh anggota guru wali menjadi terlambat dan kena sanksi GDS. Bagi guru wali yang bersangkutan, program ini mendorong guru untuk semakin peduli pada murid asuhannya. Dalam program ini diberlakukan pula format absensi yang mencatat dengan jelas pada jam dan menit berapa kelompok guru wali Pak Rafiq, misalnya, berangkat meninggalkan asrama. Dalam format itu juga ketua kelompok guru wali membubuhkan tanda tangan bukti keberangkatan. Ini adalah dokumen sumber penilaian saya. Angka keterlambatan menurun drastis dan dalam sebulan, angka keterlambatan murid menjadi 0%. Saya senang, karena inovasi ini berhasil memecahkan satu masalah krois yang sulit dipecahkan selama beberapa tahun belakangan. Jelas bahwa keterlambatan adalah satu unsur serius yang saya masukkan dalam instrumen penilaian PKn. Keterlambatan dan Raport kamar berkontribusi 65% penilaian Raport untuk mata pelajaran PKn. Sistem pemberangkatan per guru wali juga masih konsisten dilaksanakan pada saat saya meninggalkan Al Kausar.

Soal lainnya yang menjadi masalah kronis di Asrama adalah persoalan komunikasi yang tidak lancar antara murid dan pembina. Hal ini terjadi pula di sekolah, sehingga hambatan komunikasi juga dialami oleh guru pengampu mata pelajaran di sekolah. Beragam pelanggaran terselubung kerap terjadi dan karena tidak sensitif atau kurang peka nya orang dewasa di sana (guru atau pembina) maka anak dihadapkan pada beragam masalah teens syndrome yang harus diselesaikannya sendiri. Tanpa ada tempat bertanya, maka beragam kekonyolan yang menggelikan kerap terjadi dan dengan sendirinya statistik pelanggaran meningkat, murid tertekan, serta depresi bahkan tak jarang berujung pada keluarnya murid dari Al Kausar. Saya memikirkan perlunya suatu upaya kanalisasi ketersumbatan aliran komunikasi yang didahului dengan suasana cair, terbuka serta aman secara psikologis bagi anak, sampai pada titik ia yakin bahwa sang guru atau pembina, mau memahami dan mengerti masalah-masalah yang dihadapinya, dan bahwa sang guru atau pembina layak dipercaya dan kompeten dalam menangani masalah yang sedang dihadapinya. Pemecahannya ternyata sederhana, idenya hadir begitu langsung dan tiba-tiba. Saya meminta Asrama membeli DVD Player, dan setiap malam ahad di pekan ke 1 dan 3 (karena pekan ke-2 dan 4 adalah waktu kunjungan orang tua), para pembina dan murid nonton bareng di lobby asrama selepas makan malam sekitar pukul 08.15. Saya menyebutnya Malam Keakraban. Film yang diputar adalah film pilihan yang bebas pornografi. Rata-rata film kartun seperti Madagascar, Shrek, Shark Tale, atau film Superhero seperti Spider-man, Batman Begins, dll. Semua murid harus ikutan, dan harus berbaur. Sejak sore, para murid ramai-ramai membersihkan lobby, dan memasang bed cover atau meletakkan benda-benda tertentu sebagai penanda bahwa tempat itu sudah ada yang punya. Malam pertama itu berubah menjadi malam penuh keakraban. Film saya dapatkan dari seorang rekan di Glodok, dengan harga pertemanan Rp 2.500,- per keping. Hingga saat meninggalkan Al Kausar, saya menghibahkan 42 judul film kepada PSB Al Kausar. Pada pemutaran film selanjutnya, beberapa anak kelas 3 bermental entrepreneur meminta izin mendirikan semacam kafetaria yang menjual aneka snack dan minuman bersoda dengan harga kompetitif. Hal ini adalah buah yang tak terduga dari inovasi malam keakraban. Pengurus OSIS dan siswa kelas 3 berpartisipasi dalam mini kafetaria ini, untuk menggalang dana bagi program pembuatan buku tahunan mereka yang memang berbiaya besar. Meski lambat, dalam beberapa bulan setelah malam keakraban dirutinkan, para murid mulai mengakrabi pembina mereka, dan bahkan beberapa cenderung menjadi manja. Pujian datang dari orang tua saat penerimaan raport kenaikan kelas dan kelulusan kelas 3, yang dalam testimoninya mengatakan bahwa anaknya banyak cerita tentang asrama yang semakin nyaman buat mereka. Alhamdulillah, kuncupnya perlahan bermekaran jadi bunga yang harum untuk semua. Sebagaimana dua program lainnya, program ini juga masih konsisten dijalankan saat saya meninggalkan kampus Al Kausar.

Wallahu a’lam.