kalam pencerahan
Pengantar ; Senjakala Ilmu Sejarah ?

Dunia dan perkembangannya yang kita saksikan serta realitas mikro maupun makro kosmos yang kita hadapi pada hari ini sangat berbeda dengan dunia di hari-hari kemarin. Perkembangan yang begitu cepat di satu aspek menstimulasi perkembangan di aspek lainnya yang pada akhirnya juga ikut mengalami percepatan. Pencapaian inovasi teknologi informasi dalam beberapa puluh tahun terakhir menstimulasi hampir semua aspek kehidupan. Hampir dapat dipastikan, jika ada beberapa aspek atau hal tertentu yang gagal mengakselerasikan diri dan komunitasnya dengan percepatan ini, maka perkembangannya cenderung melambat bahkan berada diambang kepunahan. Kajian sejarah, sebagai suatu asset milik masyarakat manusia, tak luput dari dorongan percepatan dunia sekarang ini. Setidaknya ada beberapa tiga tantangan utama yang nantinya memaksa ilmu sejarah untuk memoderasi beberapa aspek prinsip dan teknis dalam dirinya sehingga sanggup mempertahankan identitasnya sebagai asset berharga milik masyarakat. Ketiga aspek tersebut adalah ; pertama, tantangan penafsiran ulang atas waktu dan ruang serta “posisinya” dalam menentukan periodisasi perkembangan masyarakat, kedua, tantangan paradigma “kebenaran” dalam historiografi dan “kebenaran” dalam system nilai masyarakat, serta ketiga, tantangan untuk berdamai dengan modernitas.

Tantangan pertama ; Penafsiran Waktu dan Ruang

Penulisan sejarah, senantiasa terkait dengan dua hal mendasar sebagai medium utama kajian sejarah, yakni waktu dan ruang. Namun, bagaimana jadinya jika pada perkembangan epistemology (perangkat cara pandang) ilmu pengetahuan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini memunculkan suatu hipotesis baru yang dianggap mampu menafsir secara lebih logis tentang hubungan waktu dan ruang dengan proses social ?. Ilmu sejarah, yang mendasarkan kajiannya dalam perspektif waktu dan ruang juga perlahan-lahan akan mengalami penuntutan tersebut agar dianggap mampu menyesuaikan dengan paradigma baru dan perkembangan mutakhir yang berangsung ditengah masyarakat. Keterlibatan waktu dan ruang dalam teori ilmu-ilmu social dan ilmu sejarah merupakan suatu yang tidak dapat ditawar. Daya konstitutif waktu dan ruang itu tampak jelas dalam gejala bahwa waktu dan ruang menentukan makna tindakan kita dan menjadikan perbedaan nama tindakan yang satu dengan tindakan yang lain. Sesuatu, tidak hanya berada dalam konteks waktu dan ruang, tetapi lebih dari itu, waktu dan ruang lah yang telah membentuk makna dari sesuatu tersebut. Singkatnya, hubungan antara waktu, ruang, dan tindakan merupakan hubungan ontologis. Tanpa waktu dan ruang, tidak akan ada yang disebut sebagai tindakan, dan bagitu pula sebaliknya. Dalam konstelasi pemikiran abad informasi ini, “waktu dan ruang” semakin disadari perannya karena keduanya adalah unsur utama pembentuk identitas atas tindakan beserta makna yang dikandungnya. Hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara waktu dan ruang merupakan factor yang lebih sentral dalam menjelaskan keberadaan hidup masyarakat, Pilihan atas bagaimanakah cara hubungan waktu dan ruang dikoordinasi dalam praktik social, merupakan hal yang membedakan antara masyarakat modern dari masyarakat sebelumnya. Illustrasi sederhananya sebagai berikut ini ; Seseorang di Banten yang menghubungi keluarganya di Mataram pada abad 17 membutuhkan waktu setidaknya sebulan perjalanan. Pada saat itu, “waktu” ketika bertemu tidak dapat dipisahkan dari “tempat” dimana ia bertemu. Dengan demikian, kapan (waktu) harus bersatu dengan “dimana” (tempat). Sementara, seseorang yang melakukan hal yang sama di tahun 2006, maka kini ia hanya butuh sepersekian detik untuk menghubungi keluarganya melalui telephone seluler, atau paling lama sehari jika ditempuh dengan angkutan umum jalan darat. Pada saat ini, “kapan” tidak lagi berhubungan dengan “dimana”. Gejala penghilangan “waktu” atas “ruang” demikianlah inilah yang menjadi salah satu ciri tak terbantahkan dari masyarakat modern. Dapat dikatakan, masyarakat adalah pelintas waktu dalam sejarah pertumbuh kembangannya. Kini, waktu dan ruang tidak lagi dianggap saling berhubungan, namun diyakini sebagai suatu yang terpisah, atau setidaknya tidak saling melengkapi. Jika terminology “waktu” dan “ruang” telah mengalami perubahan, maka bagaimanakah sejarah akan ditulis dan dikisahkan?.

Tantangan kedua ; Historiografi dan system nilai masyarakat

Perkembangan teknologi informasi beserta akses perolehan informasi yang semakin mudah, memunculkan sebentuk kehidupan dunia yang bergerak cepat dan trend percepatannya berbanding lurus dengan ragam inovasi peralatan kehidupan yang memungkinkan terlaksananya percepatan-percepatan tersebut. Bagaimanakah kajian sejarah dan penulisan sejarah menghadapi fakta yang demikian ini ? Pada saat realitas “waktu” tidak lagi berhubungan dengan realitas “ruang” maka dapatkah dibayangkan corak penulisan sejarah di masa mendatang, misalnya 200 tahun yang akan datang sejak 2006 ?. Kebenaran sejarah mengalami pemisahan yang tegas dan dalam beberapa aspek akan berada pada posisi yang saling berhadapan bahkan berlawanan. Kebenaran akademis atau kebenaran secara metodologis, yang tentunya spesifik dan penguasaannya hanya dimiliki sedikit orang, akan mendapat “pesaing” yakni kebenaran menurut system nilai yang dapat diterima masyarakat. Jika kebenaran metodologis-akademis adalah sesuatu yang dicirikan dengan penguasaannya yang terbatas dan oleh sedikit orang , memiliki parameter yang jelas dan berlaku dalam jaringan komunitas global yang sama maka kebenaran “yang dapat diterima” menurut system nilai masyarakat dicirikan dengan kepemilikan dalam spectrum yang luas serta terjadi proses dialektika yang berlangsung terus menerus dan karenanya tidak ditemukannya suatu parameter baku tentang apakah kebenaran dan bagaimana kebenaran tersebut dapat diterima. Boleh jadi, seiring dengan semaraknya inovasi teknologi yang membantu percepatan proses social dan kemandirian masyarakat, akan ada sangat banyak sistem nilai yang kemunculannya seiring dengan kemunculan komunitas-komunitas manusia yang membentuk suatu masyarakat. Disinilah letaknya tantangan bagi sejarawan yakni bagaimanakah mengkomunikasikan hasil penelitian sejarah yang sudah dilakukannya kepada masyarakat sehingga aspek aksiologis dari ilmu sejarah dapat terpenuhi. Sejarawan, dengan metodologi yang dimilikinya memang dapat mengungkap beragam rupa kebenaran sebagai hasil dari proses dialognya dengan masa lalu. Ia dapat saja menyingkap, meneguhkan bahkan mendekonstruksi identitas suatu masyarakat, namun system nilai yang berlaku di suatu masyarakat itu sendirilah yang akan menentukan apakah hasil karya sang sejarawan dapat diterima atau ditolak, diperlakukan secara sacral sebagai suatu yang monumental dalam ingatan kolektif masyarakat, atau akhirnya hanya mendapat tempat sebagai sebuah pengetahuan yang sepintas lalu untuk kemudian terlupakan, tenggelam dalam hiruk pikuk masyarakat yang mengalami percepatan terus menerus. Jika tantangan mengkomunikasikan ini gagal dijawab, atau bahkan pada akhirnya berada pada situasi yang saling berhadapan dan bertentangan, maka sejarawan beresiko akan kehilangan masyarakat sebagai pendengar sekaligus peminat setianya, dan implikasi lanjutannya adalah historografi tidak lagi memiliki aspek aksiologis (kebermanfaatan kajian) yang dihasilkannya bagi pertumbuhkembangan masyarakat. Jika tahap ini telah sampai dan dialami oleh ilmu sejarah, maka kepunahan ilmu sejarah dalam belantika ilmu pengetahuan tinggal menunggu waktu. Kehilangan ruh aksiologisnya, menjadikan ilmu sejarah sepi peminat, dan mengalami kegagalan kaderisasi. Kalaupun masih ada yang menekuni Ilmu Sejarah pada situasi demikian, akan serupa dengan nyanyian sunyi seorang bisu di tengah dunia yang tunggang-langgang (silence voices in a runaway world).

Tantangan ketiga ; Berdamai dengan modernitas

Dari kedua tantangan utama sebagaimana dipaparan diatas, maka focus pertanyaannya beralih pada hal-hal yang sifatnya praktis dan teknis. Bagaimanakah Ilmu sejarah mempertahankan dirinya agar identitas agungnya sebagai asset miik masyarakat tetap dapat dipertahankan. Jika pertanyaan ini tidak segera memperoleh jawaban praktis yang bisa diterima masyarakat, maka Ilmu sejarah tidak lagi dipandang sebagai asset berharga yang mampu terus-menerus memberikan kontibusi konstruktif bagi masyarakat, melainkan akan menerima perlakuan sebagai rongsokan besi tua yang harus disingkirkan dan dilupakan. Untuk itu, dalam paparan berikut ini ada beberapa rekomendasi yang dapat penulis ketengahkan. Kunci utama dalam memoderasi diri dalam dunia yang tunggang langgang (runaway world) sekarang ini adalah bagaimana menciptakan suatu yang semula rumit dan sukar prosesnya serta membutuhkan waktu yang lama menjadi lebih mudah, murah dan cepat namun tanpa mengurangi kualitasnya dari produk aslinya. Ini tidak lantas serta merta menjadikan ilmu sejarah sebagai “barang dagangan” di pasar liberal, namun merupakan sebentuk ikhtiar di senjakala Ilmu Sejarah agar masih mampu berkontribusi bagi pertumbuh kembangan masyarakat. Rekomendasi pertama adalah membuka seluas-luasnya hasil penelitian para sejarawan akademis kepada public, dan juga sumber sumber asli penelitian sejarah direproduksi atau direstoasi ulang serta diarsipkan dalam bentuk digital untuk kemudian dibuka akses yang seluas-luasnya kepada public. Ini merupkan langkah stimulasi kepada masyarakat agar karya sejarah apapun yang akan dibuat oleh masyarakat (sejarawan non akademis) dapat merujuk pada sumber asli atau karya yang dihasilkan sejarawan akademis tersebut, sehingga ada semacam “referensi pembanding” disamping “sumber asli” yang sama-sama diketahui public. Distorsi, pemalsuan dan pembungkaman sejarah akan dapat dihindarkan dengan sendirinya dan masyarakatlah yang menjadi hakim atas kebenaran macam apa yang nantinya akan dapat diterima. Demikian, sehingga dialektika sejarah berlangsung tanpa batas waktu dan ruang dan dalam spectrum yang luas, serta yang pasti tidak ada kebenaran tunggal yang berlaku di masyarakat kecuali kebenaran metodologis hasil karya sang sejarawan, dan sejarawan kembali muncul sebagai pemenang sementara dalam pergulatan modernitas. Selanjutnya, dalam rangka membudayakan penulisan sejarah yang tetap mempertahankan kesahihan sumber dan kebenaran metodologis, maka proses belajar penulisan sejarah perlu dipermudah, dengan pembuatan semacam manual book dalam bahasa dan contoh yang mudah dipahami masyarakat. Manual Book ini berisikan landasan konsepsi, gambaran umum, dan teknis detail beserta contoh pada tiap tahapan yang harus dilalui dalam menghasilkan penelitian sejarah. Manual Book ini juga harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Dan terakhir, perlu dilakukan perluasan kewenangan lembaga komunitas sejarawan yang semula sebatas pemelihara komunitas dan pusat kajian, kini mengembangkan diri menjadi semacam lembaga penjamin mutu yang dapat memunculkan fatwa atau keputusan benar tidaknya suatu historiografi secara metodologis, disamping sebagai produsen tunggal manual book diatas
kalam pencerahan

PROLOG ; Perihal Pembenaran Atas Ketidaksamaan


Judul ini dipilih sebagai sebuah pantulan dari kegelisahan intelektual penulis atas hal-hal yang terjadi di Indonesia pasca Gerakan Reformasi 1998 dikumandangkan rakyat Indonesia, dan dalam tulisan ini penulis mencoba untuk menelisik lebih jauh lagi hakikat kemajemukan masyarakat Indonesia dan dikaitkan dengan potensi konflik yang dimiliki oleh suatu masyarakat majemuk, khususnya masyarakat Indonesia. Dengan bersandar pada tesis Furnifall (1940), disamping sumber-sumber antropologis dan sumber disiplin ilmu yang relevan lainnya, penulis mencoba menelusuri akar kemunculan kemajemukan dalam masyarakat sekaligus menelisik sisi-sisi dari kemunculan kemajemukan tersebut yang menyimpan potensi konlik yang nantinya tidak hanya membahayakan eksistensi entitas-entitas yang terlibatt konflik, namun juga mengakibatkan disharmonisasi dalam masyarakat majemuk, yang pada akhirnya justru akan membunuh masyarakat majemuk sendiri, sehingga terjadi suatu pola yang linier antara entitas sosial sebagai unit dari maasyarakat majemuk dan potensi konflik yang ada di dalam masyarakat majemuk.
Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnifall (1940) adalah kehidupan masyarakatnya berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi mereka (secara essensi) terpisahkan oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial yang melekat pada diri mereka masing-masing serta tidak tergabungnya mereka dalam satu unit politik tertentu. Dengan merujuk pada kasus model masyarakat masa Hindia Belanda di Indonesia, Furnifall melihat bahwa masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu berdiri terpisah-pisah dalam pengelompokan komunitas yang didasarkan pada ras, etnis, ekonomi dan agama yang dianut. Tidak hanya antara kelompok yang memerintah dan diperintah terpisahkan oleh ras yang berbeda, tetapi juga masyarakatnya secara fungsional terbelah dalam unit-unit ekonomi seperti misalnya antara pedangang Arab, Cina, atau India dengan kelompok Petani Pribumi atau Pengusaha Pribumi. Menurut Furnifall dalam studinya terungkap bahwa masyarakat padaa unit-unit ekonomi ini hidup menyendiri dalam suatu lokalitas tertentu (exclusive) dan dengan sistem sosialnya masing-masing. Adanya upaya sistematis dan terencana dari pihak penguasa atau dari sekelompok elite dalam struktur suatu masyarakat tertentu ini, membuktikan bahwa aadanya sebuah pembenaran atas ketidaksamaan-ketidaksamaan dalam masyarakat majemuk. Di tempat lain, pengkotak-kotakan masyarakat dilakukan atas dasar perbedaan-perbedaan agama seperti pada masyarakat Irlandia, yakni antara penganut Kristen dan Katholik, atau di India dengan adanya sistem kasta yang memiliki basis pembenaran religi atas adanya perbedaan status, dan kepemilikan ekonomis dalam strruktur masyarakat India, yang sudah ada jauh sebelum awal Masehi, sehingga muncullah pembenaran berbasis religi ini. Sementara upaya pengkotakan masyarakat ini dilakukan oleh para penguasa –sebagaimana kasus di Hindia Belanda-- sebagai sebuah upaya meminimalisir konflik dalam skala luas dalam masyarakat yang heterogen, ternyata tak dapat dipungkiri pula, bahwa di tempat-tempat tertentu, justru dengan adanya penerapan pola pengkotakan masyarakat berdasar ketidaksamaan-ketidaksamaan baik sosial atau ekonomi, menjadi sumber kemunculan konflik atau bentuk-bentuk disharmoni sosial lainnya. Hal ini dikarenakan, bahwa pengkotakan masyarakat hanya mampu menekan eskalasi konflik dan disharmoni sosial dalam masyarakat, namun ia tidak mampu menghilangkan poensi-potensi konflik yang telah lama dan masih terpendam dalam masyarakat. Konflik dan disharmoni sosial dapat muncul karena mereka –kelompok-kelompok sosial tersebut— tetap hidup berdampingan secara fisik dalam suatu komunitas masyarakat. Pembenaran atas ketidaksamaan, pada hakekatnya adalah juga sebentuk pembenaran terhadap adanya potensi potensi konflik dalam masyarakat yang pluralis.


KONTEKS : Menelisik Sumber-Sumber Kemajemukan di Indonesia


Dalam konteks kemajukan, maka anatomi masyarakat Indonesia yang aada sekarang masih dapat dikategorikan sebagai masyarakat majemuk, sebagaimana akar masyarakat Indonesia dahulu, kketika Furnifall melakukan studinya lebih dari 60 ttahun lalu di Indonesia (dahulu masih diberi identitas komunal sebagai Hindia Belanda). Kemajemukan masyarakat Indonesia masih terlihat secara jelas, dan dalam pluralitas budaya tersebut integrasi nasional tetap utuh, meskipun harus diakui adanya beberapa disharmoni sosial yang bermuara pada konflik sosial di beberapa lokalitas komunitas masyarakat tertentu, sebagai sebuah konsekwensi yang harus diyakini akibat adanya disharmoni sosial dalam masyarakat Majemuk. Secara teoritis, keragaman suku, agama, budaya, adat, kelompok, dan entitas sosial lainnya dalam masyarakat Indonesia dinilai memiliki potensi-potensi dan sumber konflik. Cara pandang, perilaku, gaya hidup, sikap dan nilai-nilai masing masing etnis dan entitas sosial yang berbeda memang daapat menimbulkan gesekan atau bahkan benturan-benturan secara frontal. Namun, perbeedaan-perbedaan ini tidak menjadi ada dengan sendirinya. Ia lahir dari suatu proses yang panjang dan telah mengakar kuat di masing-masing entitas. Lahirnya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat jika dilihat dari aspek sebab atau cara kemunculannya, maka dapat diajukan dua tesis yakni perbedaan yang muncul secara alami tanpa adanya rencana di satu sisi dan pembedaan yang dimunculkan dengan terencana di sisi lainnya. Dua jalur kemunculan inilah yang akan memunculkan beragam bentuk-bentuk perbedaan identitas sosial dalam suatu masyarakat. Identitas yang berbeda, pada dasarnya termiliki oleh suatu entitas tertentu karena identitas adalah sesuatu yang diberikan kepada satu unit entitas oleh unit-unit lainnya, sehingga ia menjadi sesuatu yang dimiliki oleh entitas tertentu tersebut, dikarenakan adanya ciri, karakter atau suatu yang khas dari entitas itu, yang tidak dimiliki oleh entitas lainnya. Identitas yang muncul dari identifikasi oleh pihak-pihak di luar entitas tersebut seringkali hanya merupakan strereotype etnic belaka. Namun, identitas sosial suatu entitas pada hakikatnya juga merupakan sumber perbedaan yang diakui secara umum dalam masyarakat, dan karenanya, ia adalah juga merupakan salah satu bentuk pengakuan atas ketidaksamaan, sekaligus memunculkannya menjadi saalah satu faktor dari kemajemukan dalam masyarakat. Ketidaksamaan yang akhirnya menjadi bagian dari kemajemukan inilah yang juga menjadikan adanya potensi untuk memunculkan konflik yang dilatar belakangi oleh perbedaan-perbedaan yang sudah ada dan mengakar. Dalam setiap perbedaan, --ini berarti kemunculannya tidak terencana--selalu ada kemungkinan bagi munculnya konflik dalam masyarakat. Namun, setiap pembedaan –hal ini berarti kemunculannya merupakan sesuatu yang terencana-- pastilah akan memunculkan konflik yang dipicu oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan secara sosial,ekonomi atau politis akibat adanya pembedaan dalam masyarakat tersebut. Kesamaan antar keduaanya adalah bahwa masing-masing pola –perbedaan dan pembedaan— tersebut muncul dari dalam maasyarakat majemuk sendiri. Motif-motif perbedaan atau pembedaan dapat beraneka ragam, karena hal ini selalu dikaitkan dengan adanya satu atau beberapa ciri khas yang umumnya terdapat dalam suatu entittas tertentu, dan hal ini menjadi identitas bagi entitas tersebut. Ketidaksamaan identitas yang dalam bentuk praksisnya termanifestasikan melalui gaya hidup, dan perilaku umum yang dianut oleh suatu entitas tertentu inilah yang seringkali menimbulkan gesekan dengan gaya hidup atau perilaku dari entitas lainnya, sehingga timbullah ketidakserasian, disharmoni sosial atau bahkan tak jarang hal demikian berubah menjadi konflik horizontal antar entitas sosial yang mengancam proses integrasi dan eksistensi masyarakat majemuk secara umum. Menelisik pola yang linier demikian, maka jelaslah bahwa potensi konflik yang ada dalam masyarakat majemuk merupakan pantulan dari besar kecilnya perbedaan atau kesenjangan yang dimilliki oleh masing-masing entitas sosial terhadap entitas lainnya dalam masyaraakat majemuk.


EPILOG ; Menju Masyarakat Terbuka


Masyarakat Indonesia yang majemuk ini, jika ditinjau dari sisi mentalitasnya dengan menggunakan pendekatan historis maaka akan dittemukan bahwa keadaan sosial masyarakat majemuk di Indonesia sekarang ini sesungguhnya adalah pantulan atas konflik besar yang hingga kini masih terjadi dalam tubuh masyarakat Indonesia, yakni antara masyarakat Warisan di satu sisi, melawan masyarakat Merdeka di sisi lainnya. Masyarakat warisan disini adalah masyarakat yang kelahirannya dilatar belakangi oleh kondisi sosial Indonesia masa pemerintahan Kerajaan Konsentris dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, sehingga masyarakat ini masih memakai pola kolonialis, feodalistik dan patriarkhi dalam segenap corak dan sisi kehidupannya, dan pola demikian masih diwariskan dari generasi terdahulu ke generasi sekarang dalam bentuk semangat zaman, dengan mencoba menghadirkan kembali mentalitas masyarakat Indonesia masa lalu dalam konteks kekinian. Umumnya penganut pola masyarakat warisan memandang masa kekinian dengan penuh sinisme dan dalam menentukan langkah sosial dan budaya yang dilakukannya, selalu bercorak konservatif serta pendukung setia atas kemapanan saat ini, yang di-claim sebagai bukti kejayaan dan produk keagungan masa lalu, oleh karenanya mereka juga berpendapat bahwa konstruksi sosial yang ada sekarang sudah stabil dan ideal, karenanya perubahan yang mendasar dalam masyarakat adalah suatu hal yang dipandang tidak perlu oleh masyarakat warisan ini. Sedangkan masyarakat Merdeka ini lahir dilatar belakangi oleh semangat zaman pada masa kemerdekaan ketika bangsa indonesia terlepas dari dominasi pemerintah kolonial dan elite lokal feodal. Sebagai masyarakat yang lahir kemudian, maka mentalitas masyarakat Merdeka merupakan pantulan perlawanan terhadap mentalitas masyarakat warisan. Karakter masyarakat merdeka yang anti terhadap segala bentuk status Quo dan akan melakukan segenap cara yang mungkin dapat dilakukan untuk memberangusnya. Hal demikian dilakukan karena traumatis masa lalu yang dialaminya. Dalam hal visi akan realitas, maka masyarakat Merdeka ini memandang masa depan dengan penuh optimisme serta cenderung memandang realitas dengan pandangan jauh ke depan (visioner), membawa “masa depan” dalam konteks kekinian, dan sangat menghargai karya-kaarya kekinian yang orisinil. Pergulatan sosial antara kedua corak masyarakat ini tetap terus berlangsung, sehingga masing-masing kelompok memendam potensi konfliknya masing-masing yang seringkali percikan-percikan api konflik tersebut mencuat kepermukaan pada bidang-bidang kemasyarakatan yang memungkinkan mereka untuk bertemu, semisal pada bidang perpolitikan. Jika stabilitas dan harmonisasi sosial adalah harapan yang ingin direalisasikan dalam bentuk praksis di tengah-tengah masyarakat, maka harus ada suatu format masyarakat majemuk baru yang dapat memendam potensi konflik lebih dalam lagi, sehingga resistansi terhadap konflik dapat lebih kuat, serta senantiasa memakai cara-cara yang tidak mengganggu stabilitas masyarakat pada umumnya jika terjadi gesekan, benturan atau disharmoni sosial antar entitas dalam masyarakat majemuk. Format baru bagi masyarakat majemuk ini adalah aapa yang penulis sebut sebagai Masyarakat Terbuka. Istilah ini mengadopsi konsep Karl R Popper, The Open Society (1984). Masyarakat ini terlahir dari kondisi Indonesia pasca Gerakan Reformasi 1998, mentalitas yang lahir pasca mentalitas masyarakat merdeka ini mewakili kondisi intelektual muda Indonesia dengan karakter khasnya yakni ; senantiasa menggunakan pendekatan dialogis dalam membina keselarasan sosial, meminimalisir dan mengelola konflik secara sehat dengan mengakui serta menerima segenap perbedaan dalam masyarakat, serta menyadari bahwa realitas yang ada saat ini adalah saat untuk berkarya sebaik-baiknya untuk investasi masa depan. Kecenderungan sikap antara pragmatis dan visioner ini menjadikan generasi pasca Reformasi 1998 adalah generasi yang lebih mendahulukan pemahaman atas segala sesuatu serta penuh perhitungan. Akan halnya masa lalu, maka masyarakat terbuka akan lebih selektif dalam menghadirkan masa lalu itu ketengah-tengah kekinian, karena yang ingin dicapai adalah harmonisasi sosial dalam masyaarakat. Mentalitas masyarakat teerbuka ini adalah gambaran ideal bagi Masyarakat majemuk Indonesia di masa yang akan datang di tengah himpitan ddan tekanan globalisasi di segenap bidang hidup kemanusiaan dalam konteks global di satu sisi, dan ancaman disintegrasi bangsa Indonesia sebagai tantangan lokal ke-Indonesiaan yang mampu mengancam keutuhan Indonesia sebagai bangsa majemuk yang terintegrrasi. Mentalitas tengah-tengah antara mentalitas masyarakat Warisan dan masyarakat Merdeka ini, pada awalnya bersifat elitis, yakni hanya di kalangan mereka yang terdidik saja. Namun, kesenjangan ini dapat diatasi dengan adanya sosialisasi ideologi masyarakat terbuka ini yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Gerakan penyadaran akan pentingnya membangun mentalitas masyarakat majemuk dalam konteks ke-Indonesiaan ini perlu dilakukan dengan segera di segenap cara yang mungkin di lakukan, dengan menggunakan jalur pendidikan sebagai jalur utama dari strateegi penyadaran massal ini. Pola dan corak Masyarakat baru ini muncul sebagai pola tandingan sekaligus juga sebagai jawaban atas dua pola masyarakat yang telah ada sebelumnya yang telah terbukti gagal dalam mencapai harmonisasi sosial, bahkan pangkal dari disharmoni sosial yang terjadi di Indonesia selama ini berasal dari konflik berkepanjangan antara dua masyarakat penganut-penganut dua mentalitas masyarakat tersebut.

Catatan
Ditulis di Pemuda Asli II/2, Rawamangun pada 6 Juli 2002, sebagai Tugas Akhir Semester dari Mata Kuliah Integrasi dan Asimilasi, pada perkuliahan Semester Genap 2001-2002, dibawah bimbingan Drs. Budiaman, M.Si.
kalam pencerahan
Prolog ; Dialog di SCTV dan Jajak Pendapat di Harian Kompas

Belum lama ini, sepulang dari kantor saya menyaksikan acara dialog pekanan di SCTV, beberapa jam menjelang pergantian hari. Tampil di layar kaca, petinggi tiga parpol besar, seorang pengamat dan pemandu dialog. Dialog berlangsung intens dan menyoal topik yang hangat dalam kancah politik yakni “reshuffle kabinet” pemerintahan SBY-JK. Pada saat dialog mengulas peluang dibentuknya “zaken cabineet” yang merupakan pengejawantahan menteri non-partisan dan non-parpol, serta merta petinggi parpol menegaskan bahwa “pemerintahan tidak akan jalan” karena DPR pasti akan “menjegal” semua usulan program pemerintah dan terutama dari kementerian.
Pengamat politik yang turut serta dalam dialog itu dan presenter acara, nampak jelas resah dan kecewa dengan statement petinggi parpol yang saling menegaskan bahwa “jatah menteri” tetap penting dibagi-bagi kepada parpol-parpol pengusung presiden terpilih. Terlebih lagi ketika para petinggi parpol tersebut menegaskan bahwa betapa pengorbanan mereka sudah teramat banyak dalam upaya mendudukkan presiden di posisinya selama pertarungan panjang Pilpres 2004, dan seharusnya hal tersebut layak “dibalas” dengan pemberian jabatan kementrian yang “strategis”. Soal kompetensi, para petinggi parpol tersebut menjamin bahwa mereka “punya banyak stock” kader yang kompeten dalam internal parpol mereka. Kekecewaan dan sinisme sang pengamat maupun presenter ini amat beralasan, karena mereka percaya bahwa inilah sesungguhnya pembenaran dari politik “dagang sapi” yang pasti berlangsung saat pasar sapi dibuka dimusim “reshuffle”. Pengamat dan presenter, yang sedikit banyak mewakili opini pemirsa, memahami bahwa sekompeten apapun kader parpol dalam menangani kementrian, tentu kalah kompeten dengan para pakar yang di kepalanya tidak terpasung oleh agenda titipan parpol, tetapi fokus pada pencapaian hasil, mutu, kinerja, dan profesionalisme untuk kemudian bertanggung jawab secara langsung kepada CEO-nya, yakni Presiden. Pengamat dan presenter, sama-sama mafhum bahwa kata-kata “balas jasa” atas kinerja parpol pada saat pilpres, dan “posisi strategis” kementrian, yang meluncur dari lisan petinggi parpol tersebut tak lain adalah soal perebutan sumber daya karena sumber daya, terutama finansial yang mencukupi, amat penting sebagai ongkos mobilisasi politik pada saat pemilu nasional, atau pilkada tingkat lokal digelar, agar mereka tetap langgeng di pentas politik nasional. Sumber daya tersebut juga bermanfaat, karena semakin penting posisi di kementrian yang diperoleh, maka tidak hanya posisi tawar parpol yang semakin tinggi namun beragam efek berantai bakal terjadi, mulai dari pengaruh yang dimiliki di tingkat eksekusi kebijakan, kucuran proyek strategis, hingga pada peningkatan kesejahteraan pengurus parpol yang terjamin secara otomatis. Namun sinisme dan nada kecewa dari presenter serta pengamat politik nampaknya gagal ditangkap para petinggi parpol dan lenyap ditelan arogansi petinggi parpol tersebut, yang menegaskan dan menempatkan diri sebagai “penentu” keberlangsungan pemerintahan sekarang, termasuk tentunya, agenda-agenda wellfare state. Sepanjang dialog, sang pengamat politik banyak tersenyum dan tertawa miris, sementara sang presenter berkali-kali terkejut tak habis pikir, sementara para pimpinan parpol tetap duduk dengan anggun sembari mengemukakan pernyataan yang mengundang rasa miris dan sinis dari pemirsa seperti saya.
Hal menarik justru saya dapatkan saat membaca hasil jajak pendapat dari Tim Litbang harian Kompas dan diterbitkan di harian yang sama pada edisi selasa, 20 Maret 2007 yang lalu, masih soal perlu tidaknya reshuffle kabinet. Pada point pertanyaan “Yakin atau tidak yakinkah anda, kabinet yang dibentuk tanpa melibatkan orang-orang Partai Politik, akan lebih efektif dalam menjalankan tugas-tugasnya ?” ternyata sebagian besar (52,9%) dari 836 responden menjawab “yakin”. Responden, umumnya (54,8 %) menyatakan dengan jelas parpol pilihannya pada saat Pemilu 2004, sehingga bolehlah kita berasumsi bahwa responden adalah kader, atau setidaknya simpatisan dari parpol besar seperti ; Golkar, PDI Perjuangan, PKB, PPP, Partai Demokrat, PKS, dan PAN. Bayangkan, kader parpol pun ternyata umumnya lebih meyakini bahwa anggota kabinet tidak perlu sepenuhnya “orang partai”. Bagi seluruh responden pada jajak pendapat, perbaikan pada bidang vital seperti Politik dan Keamanan, Ekonomi, Penegakan Hukum, serta Kesejahteraan sosial perlu disegerakan, dan tidak penting dari parpol manakah menterinya. Apakah ini dapat diterjemahkan sebagai rendahnya kredibilitas dan kinerja kader partai di kabinet ?

Demokrasi dan Partai Politik di Indonesia, 1945

Pada tanggal 5 November 1945, beberapa waktu setelah pendaratan pasukan sekutu ke Indonesia, atas inisiatif Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia yang belum lama dilantik, diumumkanlah Maklumat Wakil Presiden tentang pembentukan partai-partai politik, dan menegaskan bahwa sistem pemerintahan yang akan dijalankan di Republik muda ini adalah Demokrasi Parlementer. Ini merupakan langkah politik yang agak mengejutkan karena beberapa waktu sebelumnya, diantara bentuk-bentuk pemerintahan yang dapat dipilih, bentuk Demokrasi Presidensiil tampak lebih “seksi” dalam diskusi-diskusi yang mengemuka diantara founding fathers Republik, terutama, tentu saja, Ir Sukarno sang Presiden yang dipilih secara aklamasi 2 bulan sebelumnya.
Dalam konteks gelombang demokratisasi yang semakin menguat bersamaan dengan meletusnya Perang Dunia II pada waktu itu, jelaslah bahwa langkah Drs Mohammad Hatta, wakil presiden yang mengumumkan maklumat tersebut merupakan langkah berani, bahkan dikemudian hari, beliau mengatakan bahwa langkah itu bersifat “setengah kudeta” karena mampu melampaui kewenangannya sebagai wapres. Langkah cerdik dan berani ini jelas terbukti mampu menyelamatkan “muka” republik yang baru saja berdiri di dalam konstelasi politik dan diplomasi Internasional. Jika saja maklumat tersebut tidak jadi atau terlambat diterbitkan oleh pemerintah Indonesia kala itu, maka tentara pendudukan Sekutu sebagai pemenang sah perang Dunia II yang mengalahkan Jepang, dapat saja menangkap Sukarno-Hatta, dan pemimpin pergerakan lainnya dengan tuduhan penjahat perang, karena politik kooperatif yang dijalankan oleh Sukarno, Hatta dan beberapa pemimpin pergerakan lainnya selama Jepang menduduki Hindia Belanda. Perlu diingat, bahwa Sukarno mengakui dalam memoarnya “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” bahwa dialah yang paling bertanggung jawab atas pengerahan dan kematian ribuan tenaga romusha, selama pendudukan jepang. Jika saja bentuk pemerintahan yang disepakati founding fathers adalah demokrasi presidensiil, atau bahkan kerajaan, dapat dipastikan pasukan sekutu akan meringkus founding fathers republik dengan status penjahat perang atau petualang politik yang hanya mementingkan pencapaian kekuasaan semata, dan anti demokrasi. Sementara, pasukan sekutu yang dimotori Amerika Serikat dan Inggris, selalu menjadikan isu demokratisasi sebagai “dagangan utama” dalam setiap perang pendudukan yang dilancarkannya, hingga hari ini.
Begitulah akhirnya, sejarah mencatat bahwa pasukan sekutu datang ke Indonesia “hanya” utuk melucuti dan menawan tentara Jepang dan tidak terlalu “ngotot” bicara soal tema-tema “pendudukan”, atau “pengembalian kekuasaan seperti sebelum pendudukan jepang”. Meski pasukan Belanda “nekat” hendak menduduki kembali Hindia Belanda, sesuai dengan perjanjian Postdam 1945. Hal itu tidak pernah terjadi, karena Belanda, setelah mendapat tekanan keras dunia Internasional terutama dari Asia, Afrika, Amerika dan Australia akhirnya mengakui Indonesia minus Irian Barat, sebagai Republik yang berdaulat pada 19 Desember 1949. Amerika Serikat, dan Australia, merupakan dua negara “barat” yang cukup banyak membantu republik Indonesia di masa awal, baik dalam pembentukan KTN sebagai mediator konflik Indonesia-Belanda, atau mendukung lahirnya UNCI di PBB. Diplomat Australia, juga gencar menolak anggapan diplomat Kerajaan Belanda bahwa pemerintahan RI adalah “ekstrimis” dan pengacau keamanan, serta yang paling nyata adalah gebrakan Pemerintah Amerika dengan melakukan penghentian pemberian bantuan Marshall Plan bagi Belanda. Keyakinan dua negara berpengaruh ini, didasarkan atas laporan-laporan intelejen mereka bahwa Demokrasi telah tumbuh di Indonesia sejak mula-mula republik ini lahir, dan alasan inilah yang membuat Amerika dan Australia memberi dukungan-dukungan yang amat berarti dalam konteks perjuangan diplomasi di masa-masa awal republik. Akan halnya maklumat wakil presiden tersebut, maka maklumat wakil presiden tentang pemberian peluang kepada masyarakat Indonesia untuk mendirikan Partai Politik, dicatat sejarah sebagai bagian dari deretan “Peraturan-peraturan awal” sekaligus tonggak demokrasi di Republik Indonesia.


Demokrasi dan Partai Politik di Indonesia, 2006

Hari-hari belakangan ini, muncul gejala-gejala yang mengkhawatirkan bagi proses demokratisasi di Indonesia. Ditengah gencar-gencarnya banyak kalangan menyuarakan tema-tema global yang “selangkah lebih maju” daripada tema Demokratisasi seperti ; Perlawanan terhadap Korupsi, Civil Society, Good Governance, Transparansi, Accoutability, Partisipasi masyarakat Sipil, dan lain-lain, tingkat kepercayaan masyarakat kepada Partai Politik justru menurun drastis. Salah satu indikator nyata dalam gejala ini adalah statistik partisipasi Rakyat dalam Pemilihan Umum atau Pilkada justru menunjukkan penurunan. Meski sikap anti-partai bukan satu-satuny penyebab penurunan partisipasi, namun ada kasus menarik di Aceh.
Di Pilkada Gubernur Aceh, perolehan suara dari calon independen justru mendominasi dibanding calon-calon yang didukung “mesin” parpol. Kebencian publik kepada elite-elite parpol juga cenderung memuncak akhir-akhir ini, dibuktikan dengan sumpah serapah dan cemooh publik yang marak di media ketika diberitakan bahwa sebagian besar anggota DPRD se-Indonesia yang nota bene adalah kader parpol tingkat wilayah atau daerah, ramai-ramai ngeluruk ke Jakarta, menginap di hotel mewah, untuk menolak revisi PP 37/2006. Hal demikian terjadi saat sebagian wilayah Jakarta dilanda banjir besar. Sinisme publik kepada elite parpol jelas bermuara pada trust. Sebagai wakil rakyat, mereka yang duduk di lembaga legislatif adalah orang-orang yang diberi kepercayaan oleh konstituennya untuk memperjuangkan agenda-agenda komunitas yang diwakilinya. Ketika proses demikian tidak terjadi, maka apatisme dan sinisme publik merebak dimana-mana. Posisi sebagai anggota dewan yang pada dasawasa lalu masih dianggap posisi yang terhormat, kini dipandang profesi biasa, atau bahkan dilaknat sebagai biang kekisruhan politik, macetnya agenda-agenda pembangunan, macetnya arus dana-dana yang seharusnya segera sampai ke publik, dan lain-lain disebabkan panjang dan berbelitnya proses kompromi politik maupun belum selesainya produk legislasi yang memayungi tata-laksana suatu kebijakan publik. Kemacetan proses politik akibat lambannya pihak legislatif dalam bekerja, atau tidak kompetennya eksekutif tingkat menteri titipan parpol karena persoalan buruknya kinerja dan kompetensi, menjadikan opini publik atas parpol semakin buruk. Arogansi (izinkan saya menyebutnya demikian) parpol yang ngotot ingin memasukkan kadernya dalam struktur Kabinet Indonesia Bersatu seiring derasnya desakan reshuffle kabinet yang juga diteriakkan lantang oleh Parpol, jelas membuat publik dan terutama pengamat politik menjadi semakin jengah, lalu perlahan, muncullah sikap sinisme yang dibarengi apatisme. Mentalitas demikian muncul karena terjadi diskontinuitas dan kesenjangan saluran aspirasi antara kehendak publik yang sesungguhnya, dengan kehendak parpol yang mengatasnamakan publik. Perlahan namun pasti, akan tiba masanya bahwa publik tidak lagi merasa terwakili oleh Partai Politik, dan serta merta gelombang ketidakpuasan publik segera menjelma menjadi sebentuk opini-opini yang menguat dari sekedar word level (aras kata) menjadi work level (aras tindakan). Bentuk aksi-aksi yang berbahaya bagi kelangsungan demokrasi adalah meningkatnya jumlah kelompok perlawanan anti parlemen, dibarengi dengan dukungan media massa yang beropini sinistik terhadap lembaga parlemen, sehingga menggiring masyarakat untuk menolak memberikan suaranya dalam kotak-kotak suara pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ini mungkin saja terjadi, karena secara teknis, UU Pemilu mengatur bahwa pemilihan Presiden-Wakil Presiden, tidak bersamaan dengan Pemilihan DPR-DPRD dan DPD. Lebih jauh lagi, surat suara antara DPRD-DPR dan DPD berbeda dan dalam lembar terpisah. Rakyat bisa saja melakukan perlawanan dengan menolak mencoblos wakil parpol, tetapi mencoblos anggota DPD dan Presiden-Wakil Presiden. Skenario demikian dapat saja terjadi. Biar bagaimanapun, rakyatlah yang punya kuasa di dalam sistem demokrasi, meski pada akhirnya pilihan rakyat nanti dapat juga mengubur demokrasi itu sendiri dan berganti dengan totaliterianisme.

Hancurnya Parpol berarti Matinya Demokrasi

Sinisme publik atas parpol, tentu saja menimbulkan persoalan yang tidak dapat dipandang sepele. Keberadaan lebih dari satu Partai politik dalam suatu negara, merupakan salah satu “instrumen konfirmasi” dari sistem demokrasi, disamping terselenggaranya pemilihan umum secara berkala, dan keterwakilan publik dalam lembaga legislatif yang nantinya memproduksi seperangkat aturan soal ke arah mana suatu bangsa dan negara akan melaju dan berkembang. Saya menyebut “instrumen konfirmasi” karena keberadaan parpol, lembaga legislatif, dan proses pemilu adalah sarana dan perangkat utama untuk menandakan bahwa demokrasi, secara formal masih “ada” di suatu negara meski instrumen-instrumen tersebut tidak menjamin bahwa demokrasi benar-benar ditegakkan secara konsisten dan berkelanjtan di suatu negara. Pada beberapa negara totaliter, instrumen itu tetap ada, tetapi tidak terjadi proses demokratisasi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena gerakan oposisi ditindas dan dilarang, pers diberangus, transparansi tidak dijalankan, akuntabilitas tidak terjadi, dan partisipasi sipil dipersempit, sementara militer memegang kendali penuh atas nama stabilitas nasional dan pembangunanisme. Pemerintahan totaliter, tidak muncul secara serta-merta, tetapi ia muncul secara bertahap dan merangkak, menyelinap ditengah sinisme dan kegelisahan publik atas kebuntuan politik, kekisruhan dan krisis ekonomi berkepanjangan. Pola-pola kemunculan pemerintahan totaliter membutuhkan beberapa pra-kondisi, dan gejala awalnya dari tiga hal utama penyebab munculnya pemerintahan totaliter adalah timbul dan meluasnya public unrest, adanya ekspektasi masyarakat yang terlalu tinggi terhadap presiden terpilih atau figur pemimpin tertentu, dan ketidaksabaran militer dalam mengikuti irama langkah politik sipil. Agenda pertama dan utama dari sebuah pemerintahan totaliter adalah pengharaman atas segala bentuk oposisi, dan pengebirian partai-partai politik, karena hanya dengan cara demikianlah Parlemen dapat “diatur”, sehingga diharapkan “kekisruhan” politik mereda, bursa saham semarak kembali, pembangunan terlaksana dan stabilitas terjaga.
Logika publik demikian dapat muncul dan menjadi virus politik yang mematikan demokrasi, hngga memunculkan totaliterianisme dalam berbagai model dan bentuk, namun pola dan cirinya yang menindas tetap sama. Corak totaliterianisme memang pernah muncul di Indonesia, bahkan dua kali. Pertama, terjadi pada saat doktrin “Demokrasi Terpimpin” yang dicetuskan Sukarno sebagai reaksi akibat kebuntuan politik di level legislatif saat perumusan UUD pengganti UUD 1945. Eksperimen Totaliterianisme ini menyeret Indonesia menuju keterbelakangan dan keterasingan diplomatik. Kedua, terjadi pada saat “kudeta merangkak” yang memunculkan pemerintahan totaliter Orde Baru, dan menganut sistem Demokrasi Pancasila, yang pada hakikatnya adalah “Demokrasi Terpimpin-Konstitusional” berdoktrin Stabilitas dan Pembangunanisme, namun sarat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang akhirnya nyaris membuat Republik ini bangkrut dan tenggelam untuk kedua kalinya, sebelum akhirnya gelombang Reformasi datang “menyelamatkan” bangsa dan negara dengan menggiring demokratisasi ke permukaan. Pengalaman buruk atas kemunculan Totaliterianisme ini seharusnya menjadi pelajaran berharga dalam pentas politik Nasional kita, dan para politisi yang sejatinya adalah kader parpol atau representasi kelompok kepentingan, sudah selayaknya terdewasakan oleh pengalaman lampau yang demikian.

Epilog ; Selamatkan Parpol, selamatkan Parlemen, selamatkan Demokrasi


Di alam Demokrasi, terdapat peluang melimpah ke arah pertumbuhan, kemakmuran dan pendewasaan sebagai bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Kualitas pelaksanaan demokrasi adalah salah satu tolok ukur penting yang membuat seberapa terhormat dan seberapa banyakkah peluang pertumbuhan ke arah kemakmuran yang tersedia. Demokrasi dan pertumbuhan ekonomi memang sulit untuk dibahasakan terpisah, meski pertumbuhan kwalitas salah satunya belum tentu menjamin perbaikan kwalitas di sisi lainnya. Namun, tidak ada yang meragukan bahwa hanya di iklim demokrasilah, segalanya memiliki kesempatan yang sama untuk dapat tumbuh dan berkembang, termasuk pemberian kesempatan bagi orang-orang yang anti-demokrasi agar boleh terus hidup, berkembang dan berkarya dengan bebas dan terjamin hak kebebasannya. Demokrasi karenanya mensyaratkan adanya gerakan oposisi yang dalam fungsi dan koridor etisnya adalah untuk memastikan bahwa kehendak rakyatlah yang senantiasa menjadi acuan utama tentang kemana arah berjalannya roda pemerintahan. Demokrasi, juga mensyaratkan adanya lembaga perwakilan rakyat yang merupakan representasi dari kehendak masyarakat suatu negara. Demokrasi, juga menghedaki adanya kelompok-kelompok masyarakat yang terhimpunkan oleh kesamaan agenda, kesamaan tujuan dan asas. Kelompok-kelompok ini biasanya berhimpun dalam Partai Politik, dan mereka diperbolehkan mengirimkan wakil-wakilnya yang terpercaya untuk duduk bersama dengan wakil-wakil dari kelompok lain, membahas permasalahan bangsa, merumuskan jaan keluar, dan tak kalah penting, turut ikut serta memastikan agar agenda-agenda bersama yang sudah disepakati dijalankan dengan baik dan benar.
Krisis kepercayaan yang dihadapi oleh Partai Politik, adalah masalah utama dalam kehidupan kita sebagai bangsa yang bersepakat menjalani sistem Demokrasi. Partai Politik hendaknya menyadari akan perlunya dengan segera untuk melakukan serangkaian langkah perbaikan Internal, agar citra yang memudar kembali cemerlang. Dibutuhkan keberanian untuk membersihkan kalangan partai politik dari bandit-bandit yang mencari keuntungan finansial dengan memperalat partai dan massa. Boleh jadi, masuknya para bandit tersebut adalah karena orang-orang baik seperti anda, lebih memilih berkeluh kesah saat krisis politik ini mendera dan bukannya terjun langsung sebagai kader di salah satu partai dengan missi utama mendepak para bandit tersebut dan bekerja keras menyelamatkan demokrasi yang benihnya ada pada eksistensi Partai Politik. Wallahu a’lam..


Penulis adalah warga negara Indonesia penikmat kehidupan demokratis di negerinya.
Kini tinggal di Cijantung.
Ditulis pada 20 Maret 2007, dipublikasikan di KALAM pada 25 Desember 2007.
kalam pencerahan
Peran Strategis Operator Seluler dalam mewujudkan Masyarakat Berkelimpahan(1)

oleh ; Rahmat Akbar


Abstraksi


Sesuai dengan paradigma strukturasi, lanskap dunia telah berubah seluruhnya pada saat ditemukannya cara-cara baru dalam berinteraksi dan bertelekomunikasi. Dunia telah mencapai suatu tingkatan yang sama sekali berbeda sejak dua dekade terakhir ini. Teknologi komunikasi seluler, dan Internet telah membuat perbedaan bagi banyak orang dalam belajar, bekerja dan berkembang. Data yang dipublikasikan oleh UNDP menunjukkan signifikansi penggunaan telephon seluler di seluruh dunia terhadap ketersediaan akses informasi dan peluang pertumbuhan ekonomi. Perbedaan tingkat pertumbuhan ditentukan dari cara seseorangdalam memanfaatkan teknologi telekomunikasi, oleh karenanya penting sekali untuk mendidik publik dalam mentransformasikan kebiasaan penggunaan telephone seluler dari sekadar entertainment tools kepada entrepreneur tools, agar setiap orang dapat melakukan aktifitas produktif yang nantinya dapat mewujudkan masyarakat berkelimpahan. Sinergi antara operator penyelenggara jaringan seluler dan pemerintah perlu dilakukan dalam rangka mendidk publik dan menyediakan akses telekomunikasi bagi siapapun dan dimanapun, dengan cara pengurangan pajak peralatan dan jasa telekomunikasi, menciptakan suatu pusat pertumbuhan sebagai transforming model, hingga tayangan iklan operator jasa telekomunikasi seluler yang lebih mendidik bagi publik.

kata kunci : operator seluler, sinergi, kebijakan pemerintah, masyarakat berkelimpahan



I. Pengantar; Lanskap Sosial yang telah berubah(2)

Ada yang berubah dengan dunia kita. Perubahannya berlangsung cepat, radikal dan meluas. Pada masa-masa sebelumnya, “waktu” dan “ruang” selalu menjadi tantangan utama dalam menjalin interaksi antar sesama manusia. Kesatuan waktu dan ruang membentuk pola interaksi masyarakat yang bersifat tatap muka dan langsung. Selain itu, waktu dan ruang memiliki daya konstitutif yang membentuk dan memaknai sebuah tindakan. Waktu dan ruang bukan sekadar domain utama dalam berinteraksi, namun ia juga merupakan pembentuk tindakan itu sendiri. Semua tindakan, hanya dapat dilakukan di dalam suatu waktu dan ruang tertentu, dan definisi tindakan tersebut didapatkan dari perbedaan antara waktu, ruang dan tindakan yang dilakukan didalam keduanya. Misalnya, seseorang di Mataram yang hendak mengunjungi rekan bisnisnya di Buitenzorg (Bogor, sekarang) pada tahun 1800, membutuhkan waktu hampir dua minggu perjalanan darat. “Waktu” ketika mereka bertemu, tidak dapat dipisahkan dari “tempat” mereka bertemu. Di masa itu dan beberapa masa sesudahnya, pengertian “kapan” yang merujuk “waktu”, harus bersatu dengan pengertian “dimana” yang merujuk pada suatu tempat yang spesifik. Namun bagi seseorang yang ingin melakukan aktifitas yang sama di tahun 2007, masing-masing pihak tidak perlu beranjak dari tempatnya berada, cukup memijit nomor-nomor yang spesifik merujuk pada subyek yang dituju pada telephone seluler yang digenggamnya, maka percakapan yang kini diperkaya visualisasi masing-masing dapat dilakukan segera dan saat itu juga. Prosesnya hanya memerlukan hitungan waktu sekian detik, dan selanjutnya seluruh interaksi dan transaksi dapat dilakukan, tanpa harus kehilangan makna kemanusiaan. Waktu dan ruang, telah dipadatkan menjadi sebuah pijitan nomor-nomor yang merujuk pada suatu subyek atau kode transaksional tertentu.
Sejak ditemukannya Internet dan teknologi seluller, seluruh struktur sosial telah berubah sepenuhnya dan memberikan peluang-peluang pertumbuhan yang terus meluas bagi semua orang di semua bidang. Hal ini dikarenakan telah terjadi transformasi radikal dalam cara manusia berinteraksi. Waktu dan ruang telah tercerabut dari domain utama dalam berinteraksi, dan segalanya menjadi nisbi. Waktu dan ruang telah sepenuhnya dikendalikan oleh manusia. Kesadaran akan ruang dan waktu mengalami perubahan, bahwa seseorang dapat menjelajahi tempat-tempat yang belum pernah terbayangkan sebelumnya, dan bahwa keterbatasan pribadi menjadi semakin nisbi. Setiap orang dapat melampaui ruang yang lebih luas daripada yang mampu dijangkau oleh fisiknya sendiri. Dunia menjadi semakin “datar”, dan setiap kejadian di satu sudut dunia dapat diketahui seketika itu juga oleh sudut dunia lainnya, dan juga dapat diketahui secara massal. Pencapaian dan inovasi teknologi telekomunikasi telah membuat banyak perbedaan dalam cara manusia untuk berinteraksi, belajar, bekerja dan berkembang secara radikal. Perubahan ini menyodorkan tawaran akan tingkat efektifitas dan efisiensi yang tidak pernah terbayangkan hingga dua dekade sebelumnya.
Di masyarakat modern sekarang ini, cara-cara berproduksi tidaklah sepenting cara-cara mengkoordinasikan ruang dan waktu dalam menciptakan nilai tambah yang menghasilkan manfaat dalam spektrum yang lebih luas dan berkelanjutan. Kwalitas seseorang atau suatu masyarakat kini ditentukan dari seberapa jauhkah ia dapat mengkoordinasikan ruang dan waktu dalam mencipta nilai lebih. Kini kemampuan dan cara manusia dalam mengkoordinasi ruang dan waktu, adalah parameter utama yang membedakan kwalitas tingkat perkembangan suatu kelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya. Kemampuan mengkoordinir waktu dan ruang menjadi pembeda paling tegas antara manusia modern dengan manusia belum modern. Kini setiap orang memiliki peluang yang sama untuk bertumbuh, belajar, bekerja dan berkembang sampai pada tingkatan yang mereka inginkan. Setiap orang berpeluang sama untuk dapat mengembangkan bakat-bakatnya serta memperoleh hasil yang maksimal dalam setiap kinerjanya. Ketersediaaan akses informasi yang luas dan tak terhingga di setiap komunitas merupakan prasyarat utama dalam mencapai kemajuan. Orang kini semakin yakin bahwa jika setiap orang diberdayakan, maka akan banyak tersedia cukup banyak sumber daya bagi setiap orang. Inovasi tak terduga yang melahirkan solusi permasalahan bersama menjadi semakin mungkin. Setiap orang berpeluang untuk menjadi seorang pemberi solusi bagi yang lainnya. Kemakmuran yang massif dan massal sangat mungkin diwujudkan. Bukan sekadar melalui harga produk barang dan jasa yang semakin murah dan massal, namun juga akses tak terbatas bagi siapa saja jelas tak sekadar mampu menyediakan banyak pengharapan perbaikan bagi siapa saja tetapi lebih dari segalanya, siapapun dapat memperbaiki kwalitas kehidupannya kini dan masa mendatang.

II. Teledensitas(3) Jaringan Seluler dan Pertumbuhan Ekonomi.

Fungsi asli dari tata pemerintahan negara adalah memenuhi kebutuhan warganegaranya, menjamin ketersediaan sumberdaya dan akses bagi siapapun. Jika seseorang diberi akses komunikasi dan informasi yang mampu menisbikan hambatan waktu dan ruang, asumsinya maka dia memiliki peluang untuk lebih berkembang dengan porsi yang lebih besar daripada mereka yang minim akses atas informasi dan komunikasi..
Pertumbuhan kemakmuran suatu negara, salah satunya ditentukan oleh seberapa terhubungkah penduduknya dengan penduduk di wilayah lainnya dalam negara tersebut atau seberapa jauhkah penduduk suatu negara memiliki akses yang memungkinkan mereka terhubung dengan penduduk dari negara lainnya(4). Data yang dipublikasikan oleh UNDP(5) menunjukkan bahwa besarnya kenaikan nilai GDP(6) di Indonesia sejak 2001 hingga 2004 rata-rata sebesar 21 %, sementara itu kenaikan jumlah pengguna telephone seluler per tahunnya sejak 2000 hingga 2004 rata-rata sebesar 69 %. Sebagai perbandingan, berikut ini dikemukakan data tentang seberapa besarkah pertumbuhan GDP yang terjadi dan seberapa luaskah telephone seluler digunakan di negara beberapa negara. Data berikut mencakup di dua negara maju di kawasan Eropa, yakni Norwegia dan Inggris dan dua negara di kawasan Asia yakni India dan Malaysia.
Inggris mengalami pertumbuhan pengguna telephone seluller sejak 2000 hingga 2004 dengan besaran kenaikan rata-rata 8,6% , sementara pertumbuhan rata-rata GDP sejak 2000 hingga 2004 juga mengalami kenaikan rata-rata sebesar 10,5%.
Sementara di India, pertumbuhan jumlah pengguna telephone seluller per tahun sejak 2000 hingga 2004 rata-rata sebesar 83,5%. Pertumbuhan GDP di periode yang sama juga mengalami kenaikan rata-rata sebesar 10,9%.
Pertumbuhan jumlah pengguna telephone seluler di Malaysia rata-rata mengalami kenaikan sebesar 29% sejak 2000 hingga 2004. Pada periode yang sama, pertumbuhan GDP per tahun rata-rata sebesar 7,25%. Sebuah catatan khusus, pada periode tahun 2000-2001 terjadi penurunan GDP sebesar 1%, namun jumlah pengguna telephone seluler pada periode tersebut justru naik sebesar 47%, yang merupakan kenaikan periodik terbesar hingga 2004.
Pertumbuhan pengguna telephone seluller di Norwegia sejak 2000 hingga 2004 rata-rata naik sebesar 4,6% sementara GDP negara tersebut sejak 2000 hingga 2004 juga mengalami kenaikan sebesar 11,55%. Terdapat fakta yang menarik, bahwa jumlah pengguna telephone seluller pada tahun 2004 menurun sebesar 1% dari jumlah pengguna pada tahun 2003, Pencapaian pertumbuhan GDP pada tahun 2004, meski meningkat sebesar 13% dari tahun 2003, namun angka ini merupakan “penurunan” jika dibandingkan dengan data pencapaian pertumbuhan GDP pada tahun 2003 yang naik 16% dari tahun 2002. Sementara pada tahun 2003 tersebut, jumlah pelanggan seluller naik 7,7% dari tahun 2002. Penurunan jumlah pengguna telephone seluler sebesar 1% ini diduga turut berkontribusi pada penurunan kemampuan pertumbuhan ekonomi nasional di periode 2003-2004 yang mengalami penurunan sebesar 2% jika dibandingkan dengan pencapaian pertumbuhan GDP pada periode 2002-2003.
Mencermati data pertumbuhan GDP dan pertumbuhan pengguna jaringan seluler di Malaysia dan Norwegia, ternyata meningkatnya pertumbuhan pengguna telephone seluler di Malaysia, tidak serta merta turut menumbuhkan tingkat GDP negara tersebut, sebagaimana terjadi pada pertumbuhan pengguna telephone seluler di Inggris, India dan Indonesia. Sementara di Norwegia, penurunan jumlah pengguna telephone seluler justru mengakibatkan penurunan kemampuan pertumbuhan GDP di negara tersebut. Data di India, Indonesia dan Malaysia yang menunjukkan pertumbuhan pengguna telephone seluller sebanyak dua digit, berkontribusi pada pertumbuhan GDP sebesar satu digit. Data ini boleh jadi mewakili kawasan Asia. Kebalikannya terjadi di Norwegia dan Inggris, yang pertumbuhan pengguna telephone seluler hanya satu digit, ternyata pertumbuhan GDP di kedua negara tersebut sebesar dua digit. Data ini dapat mengantar kita pada sebuah kesimpulan sederhana sesuai dengan pendapat Anthony Gidens tentang perbedaan tingkat perkembangan suatu masyarakat dalam paradigma strukturis, bahwa cara seseorang dalam memanfaatkan akses dan teknologi, itulah yang membuat perbedaan dan peningkatan kapasitas.
Meningkatkan teledensitas merupakan salah satu cara dalam mendorong keterhubungan antar penduduk di suatu negara atau antar penduduk di negara yang berbeda. Namun, untuk konteks Indonesia, pembangunan sarana dan prasarana pendukung lainnya selain jaringan seluler juga amat diperlukan. Hingga tahun 2003, rasio elektrifikasi kawasan perdesaan baru mencapai 78 persen, sementara jumlah desa yang tersambung prasarana telematika baru mencapai 36 persen(7). Ditargetkan, pada akhir 2009 nanti pembangunan fasilitas telekomunikasi perdesaan sekurang-kurangnya 43000 sambungan baru di 43000 desa dan pembangunan community access point di 45000 desa, dengan target peningkatan persentase desa yang mendapat aliran listrik dari 94 persen pada tahun 2004 menjadi 97 persen pada tahun 2009.
Banyak faktor yang dapat mendorong kemakmuran suatu negara. Sistem pemerintahan yang berlaku, serta pola kebijakan yang diterapkan merupakan hal penting sebelum seluruh infrastruktur teknis dan prasarana pendukung dibangun. Sistem pemerintahan negara-negara di dunia menjadi lebih demokratis dalam dua dekade belakangan ini(8). Peran teknologi komunikasi berbasis seluller dapat menjadi penyangga demokratisasi di tingkat lokal, bahkan penguatan per individu. sebagai alat, ia memiliki daya yang luar biasa dalam menembus kebekuan birokratis dan mendorong transparansi. Kontrol sosial, dan jejaring informasi tanggap darurat bencana alam, dapat tersebar efektif melalui teknologi seluler. Disisi lain, teknologi seluller juga meningkatkan efisiensi penyelenggaraan tata pemerintahan, dan meningkatkan kapasitas negara dalam melakukan penginderaan melekat atas nama keamanan negara. Kebermanfaatannya yang menjangkau hampir keseluruhan aktivitas manusia dalam kerangka interaksi antar manusia maupun antara manusia dengan institusi atau otoritas kelembagaan, menjadikannya layak diprioritaskan untuk pengembangan lebih jauh dan berkelanjutan. Negara, pihak swasta, dan para pemangku kepentingan masih perlu lebih didorong dan saling mendukung untuk memunculkan inovasi teknologi tinggi dan keseriusan melakukan investasi lebih jauh di bidang pemanfaatan dan peningkatan teledensitas jaringan seluler di Indonesia

III. Pergeseran Paradigma: dari Alat Konsumtif menuju Alat Produktif


Dari data yang telah disajikan pada bagian kedua diatas, nampak jelas bahwa jumlah teledensitas jaringan telekomunikasi di suatu negara mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai negara tersebut. Namun, jauh lebih penting untuk memastikan bahwa pemanfaatan teknologi telekomunikasi dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk aktifitas produktif yang mampu merangsang pertumbuhan ekonomi para penggunanya. Hal inilah yang membuat perbedaan penting dari pertumbuhan yang terjadi di kawasan Eropa, dengan pertumbuhan di kawasan Asia. Orientasi pemanfaatan teknologi, ternyata menjadi jauh lebih penting dari teknologinya sendiri.
Ada satu gagasan yang perlu disampaikan kepada operator penyelenggara jaringan seluler agar operator seluler memperbesar porsi dalam mendidik masyarakat tentang manfaat besar yang akan diperoleh masyarakat jika mereka mau memutuskan untuk beralih cara dalam bertelekomunikasi. Hal inilah yang masih perlu untuk dikembangkan lebih lanjut. Masyarakat perlu dilatih dan dididik bagaimanakah seharusnya teknologi telekomunikasi terutama yang berbasis seluler dimanfaatkan seluas-luasnya untuk aktifitas-aktifitas produktif. Jika kita telisik lebih jauh lagi, fungsi telephone seluller bagi sebagian besar pengguna di Asia boleh jadi hanya sebatas alat hiburan, sebagaimana layaknya Game Watch® dan Walkman® yang populer di era 1980’an dan 1990’an atau iPod® yang kini populer. Ini terbukti dengan adanya sebagian kandungan dalam ponsel berupa permainan modul digital dan pemutar musik dalam beragam format dan beragam layanan tambahan lainnya yang disediakan oleh produsen telephone seluller maupun pihak operator penyelenggara jaringan seluller. Berkomunikasi melalui telephone seluller juga dianggap sebagai bagian dari aktifitas hiburan oleh sebagian pengguna, sehingga fungsi telephone seluler berhenti menjadi sekadar alat telekomunikasi instant. Bagi kelompok masyarakat semacam ini, hadirnya telephone seluler yang mumpuni(9) dengan layanan 3,5G adalah kesempatan berbicara langsung dengan sang pacar, atau keluarga di wilayah lain, dan dapat langsung memandangi wajah dan senyuman lawan bicaranya. Fungsi hiburan semestinya tidak dipilih menjadi fungsi utama dari kemunculan telephone seluler, karena sejak semula kandungan tersebut hanya dimasukkan sebagai tambahan semata, bukan merupakan fungsi utama.
Pentingnya mendidik publik agar merubah dan memaksimalkan fungsi telephone seluler dari sekadar entertainement tools agar menjadi entrepreneur tools dapat dimulai oleh operator seluler melalui iklan yang lebih mendidik dan berbobot. Barangkali perlu dicoba, iklan yang menggambarkan pertumbuhan sebuah desa yang produktif seperti sentra perkebunan tembakau di Bansari – Temanggung(10), atau sentra kerajinan meubelair ukir di Tahunan- Jepara(11) sebelum tahun 1980’an dan sesudah jaringan telephone, jaringan seluller mulai masuk di wilayah tersebut pada tahun akhir 1990’an. Perubahan yang terjadi di kedua kawasan tersebut amat mengagumkan, disebabkan jaringan telephone dan jaringan seluler serta Internet yang membuat produktifitas, efektifitas dan efisiensi penduduk di kedua wilayah tersebut mencapai tingkat yang tinggi, justru pada saat seluruh wilayah di Indonesia mengalami dampak puncak dari krisis moneter.
Lebih jauh lagi, masyarakat tidak sekadar perlu diberitahu apa-apa yang akan terjadi dan manfaat apa yang akan mereka peroleh jika mereka mau melakukan transformasi sosial dan kultural tersebut, tetapi operator seluller dan bersama-sama pemerintah perlu meyakinkan publik dan mengedukasi secara simultan dan berkelanjutan tentang kemungkinan cara-cara yang dapat dilakukan oleh siapapun untuk memperoleh hasil-hasil yang maksimal dari penggunaan teknologi telekomunikasi berbasis seluller. Membuat beberapa proyek bersama yang memanfaatkan teknologi telekomunikasi seluler untuk meningkatkan produktifitas sebuah kawasan seluas kecamatan, kemudian mendokumentasikan dan mempublikasikan hasilnya, rasanya sudah cukup memberi bukti kuat bagi publik tentang bagaimana buah manis dari inovasi teknologi telekomunikasi ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas. Tentu saja solusi berbasis seluler yang harus ditawarkan akan sangat unik karena digali dari kekhasan di tiap lokalitas. Edukasi ini pada prinsipnya adalah pendampingan total dan menyeluruh. Hal ini untuk mempertegas pada publik bahwa kehadiran operator seluler adalah berfungsi sebagai katalisator peningkatan kapasitas publik. Kehadiran operator seluler menawarkan cara baru kepada publik dalam memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi dengan menggunakan kecanggihan teknologi telekomunikasi terkini. Pada ranah publik, cara-cara baru dalam telekomunikasi ini berarti tersedianya peluang untuk bertumbuh, berkembang dan memperoleh hasil maksimal melalui cara-cara yang lebih efektif dan efisien. Jika setiap orang mengetahui bagaimana caranya menjadi individu-individu yang produktif dan mau berpartisipasi dengan cara-cara yang kreatif dalam mewujudkannya, maka negara yang berkelimpahan dapat segera direalisasikan tanpa perlu menunggu presiden baru atau revolusi sosial meletus kembali di Republik tercinta ini.

IV. Sinergi Negara dan Swasta ; mencipta kebijakan efektif, bukan kebajikan massif


Agenda besar mewujudkan negara berkelimpahan yang melampaui negara berkembang adalah agenda yang realistis dan sangat mungkin diwujudkan. Pertumbuhan ekonomi memang dapat dicapai melalui banyak cara, dan pertumbuhan ekonomi memang hanya satu dari sekian banyak indikator penting dalam mewujudkan negara yang berkelimpahan. Pada tingkat operator penyelenggara jaringan seluller, telah dikemukakan cara-cara dan program yang mungkin dapat dikerjakan oleh mereka dalam rangka memperbesar dan memperluas peran serta partisipasi mereka bagi perwujudan negara yang berkelimpahan.
Sementara pada tingkat pemerintah negara, sangat penting untuk menggulirkan program-program yang dapat meluaskan akses informasi dan telekomunikasi publik dengan cara-cara yang efektif, dan jauh lebih penting diatas segalanya adalah menyusun kebijakan-kebijakan radikal yang mendorong orientasi publik agar mau menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Semestinya aktivitas penyelenggara negara yang berkepentingan dengan pengembangan dan perluasan akses informasi dan telekomunikasi bukan sekadar melakukan pendataan pengguna telephone atau pengguna telephone seluller, melakukan lelang jalur frekwensi, dan beragam pengaturan lainnya atas nama ketertiban dan keamanan publik atau alasan lainnya yang terkadang hanya masuk akal dalam logika birokrasi. Juga bukanlah hal utama untuk mengeluarkan sederet kebijakan yang “memaksa” operator seluller untuk menggencarkan aktivitas amal atas nama tanggung jawab sosial perusahaan penyelenggara jaringan seluller. Akan tetapi sangat perlu bagi para pemangku kepentingan di bidang perselulleran dan pemerintah untuk bersama-sama mewujudkan kebijakan yang lebih memihak kepada publik. Pada waktu-waktu yang lalu, kebijakan pemerintah untuk mewajibkan pendataan bagi semua pengguna layanan seluler ternyata dapat dikecoh oleh sebagian orang dengan mengirimkan data-data palsu, karena keabsahan data yang dapat dikirim melalui layanan pesan singkat tersebut sulit terkonfirmasi(12). Penataan jalur frekwensi menimbulkan kerumitan teknis bagi sebagian pelanggan seluller saat pemerintah memutuskan menata jalur keperuntukan frekwensi CDMA. Sementara lelang pemerintah dalam rangka pemanfaatan jalur seluller bagi operator seluler, belakangan ini memicu perang tarif yang menuai banyak gugatan terbuka media massa yang berasal dari pelanggan seluller baru yang merasa tertipu oleh iklan tarif murah yang dilakukan oleh sebagian besar operator seluller dalam memperoleh pertambahan jumlah pelanggan baru. Pada akhirnya, “perang tarif” yang mengesankan pelecehan operator yang satu terhadap operator lainnya ini akan menegrucut menjadi dua kemungkinan, apakah akan terjadi praktik predatory pricing(13) oleh sebagian operator seluler terhadap operator lainnya, atau jika seluruh operator seluler menjalin komunikasi bisnis yang baik diantara mereka, maka parktik kartel untuk produk layanan tertentu dapat terjadi. Akibat lainnya adalah operator seluler kurang transparan dalam menjelaskan kepada publik, sebesar apakah biaya yang diperlukan untuk pengiriman SMS atau melakukan percakapan, misalnya. Baik praktik predatory pricing maupun permufakatan menjurus praktik kartel dalam bisnis, berujung pada kemungkinan dirugikannya konsumen baik secara materiil maupun non-materiil. Jika ini yang terjadi, maka operator seluler akan kehilangan kepercayaan publik yang merupakan konsumen sejatinya. Kesemuanya berawal dan akan kembali lagi pada pilihan startegi kebijakan pemerintah dalam mengelola pemanfaatan jaringan telekomunikasi berbasis seluler yang disediakan operator seluler bagi publik. Operator seluler telah mengambil alih sebagian tugas negara dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkelimpahan. Kebijakan yang tidak berpihak pada operator seluler, dapat berarti tidak berpihak pada publik. Sebaliknya, jika pemerintah dan operator seluler menjalin kinerja sinergis, maka pertumbuhan dan kelimpahan bagi semua sudah dapat dipastikan sejak awalnya.
Dalam rangka peningkatan akses informasi dan ketersediaan sarana telekomunikasi yang dapat dimanfaatkan secara luas oleh publik, sekaligus mencapai target pembangunan nasional jangka menengah hingga 2009, maka ada beberapa rekomendasi yang dapat penulis tawarkan bagi pemerintah dan para pemengku kepentingan bidang pengembangan pertelekomunikasian di Indonesia. Pertama, perlu sekali dimulai untuk menetapkan peraturan pengurangan pajak atas perlengkapan dan jasa telekomunikasi karena hal ini terkait pada keterjangkauan seluruh penduduk agar dapat mengakses dan memanfaatkan peralatan telekomunikasi semacam telephone seluler, disamping untuk mendorong pertumbuhan pelanggan seluler. Kedua, sangat penting bagi pemerintah bersama-sama operator seluler untuk mengedukasi masyarakat tentang pemanfaatan teknologi jaringan seluler, yang tidak hanya sebatas pada entertainment tools saja tetapi juga dapat berfungsi sebagai entrepreneur tools yang memiliki nilai produktifitas tinggi. Ketiga, pentingnya sinergi antara swasta, dalam hal ini operator seluler dengan pemerintah, untuk “naik gunung dan menembus hutan”, menjelajahi daerah-daerah yang masih minim akses dan masih mengalami hambatan akses telekomunikasi antar daerah, terutama disebabkan oleh hambatan jarak dan waktu. Prioritas bantuan diberikan kepada mereka yang telah atau baru mulai berproduksi atau tapi kesulitan dalam akses pasar, transaksi dan komunikasi. Tujuannya adalah membentuk model transformatif dan membuktikannya melalui sederet kisah sukses yang telah nyata terjadi. Selain itu, akses juga harus diperluas kepada pusat-pusat pertumbuhan seperti sekolah, agar setiap siswa memiliki peluang yang sama untuk belajar dan berkembang. Pada akhirnya, kesenjangan literasi dan akses pada pengetahuan perlahan dihilangkan. Efisiensi dan efektifitas dalam bertransaksi, mendapatkan cara baru dan informasi baru dalam melakukan konservasi lingkungan alam, mendorong kreativitas dan memunculkan lapangan pekerjaan baru yang lebih spesifik dan unik adalah sebagian kecil keuntungan yang akan dinikmati oleh publik. Semakin banyak ragam dan cara dalam bekerja, belajar dan berkembang, maka semakin banyak orang yang bisa diberdayakan karena semakin banyak orang yag terlibat dalam berproduksi atau menghasilkan nilai tambah yang tidak hanya baru tetapi juga unik. Pada akhirnya, akan tersedia kelimpahan bagi semua. Publik mendapatkan cara-cara baru yang melimpah dalam memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan, penyelenggara negara berhasil memenuhi janjinya kepada publik dan memastikan stabilitas internal yang lebih luas dan tangguh, sementara operator penyelenggara seluller memperoleh pelanggan setia, karena teknologi telekomunikasi seluler adalah bagian tak terpisahkan dalam mewujudkan kehidupan yang berkelimpahan.

Dunia ini cukup bagi seluruh penghuninya
kecuali bagi satu orang yang tamak..
(Mohandas K Ghandi)
Cijantung, 12 Oktober 2007, dini hari.


CATATAN KAKI
1. Naskah ini ditulis dalam rangka mengikuti XL Award-Writing Competition 2007 di Jakarta dan berhasil menjadi Juara 1 untuk kategori penulis umum. Penganugerahan telah dilaksanakan di Rumah Daksa - Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada 22 November 2007.
2. Wacana pada bagian pengantar ini, sebagiannya ditulis berdasarkan telaah atas Teori Strukturasi dari Anthony Giddens pada Social Theory and Modern Sociology. Cambridge : Polity Press, 1987.
3. Teledensitas (Teledencity). Rasio pengguna jaringan telekomunikasi berbanding dengan jumlah populasi penduduk. Asumsinya, semakin tinggi teledensitas suatu negara, semakin besar peluang warganya untuk mengakses informasi dan melakukan komunikasi antar atau inter-wilayah.
4. Brady, Robert A. Organization, Automation, and Society: The Scientific Revolution in Industry. University of California Press. Berkeley ; 1961. hal. 76
5. Human Development Report : 2002,2003,2004,2005,2006. Lihat grafik pertumbuhan pada halaman lampiran.
6. Gross Domestic Product, Produk Domestik Bruto. Merupakan salah satu parameter pertumbuhan ekonomi suatu kawasan atau negara yang digunakan UNDP dan ekonom pada umumnya.
7. Peraturan Presiden Republik Indonesia No 77/2005, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, Bab 16,25 dan 26
8. Human Development Report 2002. Deepening Democracy in an fragmented world. UNDP ; New York, 2002. hal.10
9. Mumpuni, dalam istilah keteknikan (bahasa Inggris) lazim disebut Compatible
10.Penulis mengunjungi daerah tersebut dan berdiam beberapa lama disana pada pertengahan tahun 2002
11.Di kawasan ini penulis sempat menetap selama setahun pada tahun 2006 lalu.
12.Penulis mencermati, sebagian orang ternyata dapat mengisi dan mengirim balik format pendataan SIM Prabayar melalui SMS Center 444 dengan data-data yang sepenuhnya palsu dan tanpa terkonfirmasi
13.Istilah disiplin ilmu ekonomi, terutama bidang pemasaran produk, yang merujuk pada tindakan suatu badan usaha atau sekelompok badan usaha yang menurunkan harga produk jauh dibawah harga normal yang ditetapkan oleh produsen barang sejenis bahkan hingga dibawah biaya produksi dengan maksud menjaring pasar yang luas sekaligus mematikan pesaing.



R E F E R E N S I


Buku

Brady, Robert A. Organization, Automation, and Society: The Scientific Revolution in Industry. University of California Press. Berkeley ; 1961

Giddens, Anthony. Social Theory and Modern Sociology. Cambridge : Polity Press, 1987

Organski. AFK. The Stages of Political Development. Terjemahan edisi Bahasa Indonesia, Tahap-Tahap Perkembangan Politik. PT Melton Putra Press, Jakarta : 1985.

Priyono, B-Herry. Anthony Giddens, Suatu Pengantar. Kepustakaan Populer Gramedia,
Jakarta : 2002


Dokumen

Peraturan Presiden Republik Indonesia No.77 Tahun 2005, Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009

United Nations Development Programme, Human Development Report & Human Development Indicator 2002,2003,2004,2005,2006.