kalam pencerahan

PROLOG ; Perihal Pembenaran Atas Ketidaksamaan


Judul ini dipilih sebagai sebuah pantulan dari kegelisahan intelektual penulis atas hal-hal yang terjadi di Indonesia pasca Gerakan Reformasi 1998 dikumandangkan rakyat Indonesia, dan dalam tulisan ini penulis mencoba untuk menelisik lebih jauh lagi hakikat kemajemukan masyarakat Indonesia dan dikaitkan dengan potensi konflik yang dimiliki oleh suatu masyarakat majemuk, khususnya masyarakat Indonesia. Dengan bersandar pada tesis Furnifall (1940), disamping sumber-sumber antropologis dan sumber disiplin ilmu yang relevan lainnya, penulis mencoba menelusuri akar kemunculan kemajemukan dalam masyarakat sekaligus menelisik sisi-sisi dari kemunculan kemajemukan tersebut yang menyimpan potensi konlik yang nantinya tidak hanya membahayakan eksistensi entitas-entitas yang terlibatt konflik, namun juga mengakibatkan disharmonisasi dalam masyarakat majemuk, yang pada akhirnya justru akan membunuh masyarakat majemuk sendiri, sehingga terjadi suatu pola yang linier antara entitas sosial sebagai unit dari maasyarakat majemuk dan potensi konflik yang ada di dalam masyarakat majemuk.
Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnifall (1940) adalah kehidupan masyarakatnya berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi mereka (secara essensi) terpisahkan oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial yang melekat pada diri mereka masing-masing serta tidak tergabungnya mereka dalam satu unit politik tertentu. Dengan merujuk pada kasus model masyarakat masa Hindia Belanda di Indonesia, Furnifall melihat bahwa masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu berdiri terpisah-pisah dalam pengelompokan komunitas yang didasarkan pada ras, etnis, ekonomi dan agama yang dianut. Tidak hanya antara kelompok yang memerintah dan diperintah terpisahkan oleh ras yang berbeda, tetapi juga masyarakatnya secara fungsional terbelah dalam unit-unit ekonomi seperti misalnya antara pedangang Arab, Cina, atau India dengan kelompok Petani Pribumi atau Pengusaha Pribumi. Menurut Furnifall dalam studinya terungkap bahwa masyarakat padaa unit-unit ekonomi ini hidup menyendiri dalam suatu lokalitas tertentu (exclusive) dan dengan sistem sosialnya masing-masing. Adanya upaya sistematis dan terencana dari pihak penguasa atau dari sekelompok elite dalam struktur suatu masyarakat tertentu ini, membuktikan bahwa aadanya sebuah pembenaran atas ketidaksamaan-ketidaksamaan dalam masyarakat majemuk. Di tempat lain, pengkotak-kotakan masyarakat dilakukan atas dasar perbedaan-perbedaan agama seperti pada masyarakat Irlandia, yakni antara penganut Kristen dan Katholik, atau di India dengan adanya sistem kasta yang memiliki basis pembenaran religi atas adanya perbedaan status, dan kepemilikan ekonomis dalam strruktur masyarakat India, yang sudah ada jauh sebelum awal Masehi, sehingga muncullah pembenaran berbasis religi ini. Sementara upaya pengkotakan masyarakat ini dilakukan oleh para penguasa –sebagaimana kasus di Hindia Belanda-- sebagai sebuah upaya meminimalisir konflik dalam skala luas dalam masyarakat yang heterogen, ternyata tak dapat dipungkiri pula, bahwa di tempat-tempat tertentu, justru dengan adanya penerapan pola pengkotakan masyarakat berdasar ketidaksamaan-ketidaksamaan baik sosial atau ekonomi, menjadi sumber kemunculan konflik atau bentuk-bentuk disharmoni sosial lainnya. Hal ini dikarenakan, bahwa pengkotakan masyarakat hanya mampu menekan eskalasi konflik dan disharmoni sosial dalam masyarakat, namun ia tidak mampu menghilangkan poensi-potensi konflik yang telah lama dan masih terpendam dalam masyarakat. Konflik dan disharmoni sosial dapat muncul karena mereka –kelompok-kelompok sosial tersebut— tetap hidup berdampingan secara fisik dalam suatu komunitas masyarakat. Pembenaran atas ketidaksamaan, pada hakekatnya adalah juga sebentuk pembenaran terhadap adanya potensi potensi konflik dalam masyarakat yang pluralis.


KONTEKS : Menelisik Sumber-Sumber Kemajemukan di Indonesia


Dalam konteks kemajukan, maka anatomi masyarakat Indonesia yang aada sekarang masih dapat dikategorikan sebagai masyarakat majemuk, sebagaimana akar masyarakat Indonesia dahulu, kketika Furnifall melakukan studinya lebih dari 60 ttahun lalu di Indonesia (dahulu masih diberi identitas komunal sebagai Hindia Belanda). Kemajemukan masyarakat Indonesia masih terlihat secara jelas, dan dalam pluralitas budaya tersebut integrasi nasional tetap utuh, meskipun harus diakui adanya beberapa disharmoni sosial yang bermuara pada konflik sosial di beberapa lokalitas komunitas masyarakat tertentu, sebagai sebuah konsekwensi yang harus diyakini akibat adanya disharmoni sosial dalam masyarakat Majemuk. Secara teoritis, keragaman suku, agama, budaya, adat, kelompok, dan entitas sosial lainnya dalam masyarakat Indonesia dinilai memiliki potensi-potensi dan sumber konflik. Cara pandang, perilaku, gaya hidup, sikap dan nilai-nilai masing masing etnis dan entitas sosial yang berbeda memang daapat menimbulkan gesekan atau bahkan benturan-benturan secara frontal. Namun, perbeedaan-perbedaan ini tidak menjadi ada dengan sendirinya. Ia lahir dari suatu proses yang panjang dan telah mengakar kuat di masing-masing entitas. Lahirnya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat jika dilihat dari aspek sebab atau cara kemunculannya, maka dapat diajukan dua tesis yakni perbedaan yang muncul secara alami tanpa adanya rencana di satu sisi dan pembedaan yang dimunculkan dengan terencana di sisi lainnya. Dua jalur kemunculan inilah yang akan memunculkan beragam bentuk-bentuk perbedaan identitas sosial dalam suatu masyarakat. Identitas yang berbeda, pada dasarnya termiliki oleh suatu entitas tertentu karena identitas adalah sesuatu yang diberikan kepada satu unit entitas oleh unit-unit lainnya, sehingga ia menjadi sesuatu yang dimiliki oleh entitas tertentu tersebut, dikarenakan adanya ciri, karakter atau suatu yang khas dari entitas itu, yang tidak dimiliki oleh entitas lainnya. Identitas yang muncul dari identifikasi oleh pihak-pihak di luar entitas tersebut seringkali hanya merupakan strereotype etnic belaka. Namun, identitas sosial suatu entitas pada hakikatnya juga merupakan sumber perbedaan yang diakui secara umum dalam masyarakat, dan karenanya, ia adalah juga merupakan salah satu bentuk pengakuan atas ketidaksamaan, sekaligus memunculkannya menjadi saalah satu faktor dari kemajemukan dalam masyarakat. Ketidaksamaan yang akhirnya menjadi bagian dari kemajemukan inilah yang juga menjadikan adanya potensi untuk memunculkan konflik yang dilatar belakangi oleh perbedaan-perbedaan yang sudah ada dan mengakar. Dalam setiap perbedaan, --ini berarti kemunculannya tidak terencana--selalu ada kemungkinan bagi munculnya konflik dalam masyarakat. Namun, setiap pembedaan –hal ini berarti kemunculannya merupakan sesuatu yang terencana-- pastilah akan memunculkan konflik yang dipicu oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan secara sosial,ekonomi atau politis akibat adanya pembedaan dalam masyarakat tersebut. Kesamaan antar keduaanya adalah bahwa masing-masing pola –perbedaan dan pembedaan— tersebut muncul dari dalam maasyarakat majemuk sendiri. Motif-motif perbedaan atau pembedaan dapat beraneka ragam, karena hal ini selalu dikaitkan dengan adanya satu atau beberapa ciri khas yang umumnya terdapat dalam suatu entittas tertentu, dan hal ini menjadi identitas bagi entitas tersebut. Ketidaksamaan identitas yang dalam bentuk praksisnya termanifestasikan melalui gaya hidup, dan perilaku umum yang dianut oleh suatu entitas tertentu inilah yang seringkali menimbulkan gesekan dengan gaya hidup atau perilaku dari entitas lainnya, sehingga timbullah ketidakserasian, disharmoni sosial atau bahkan tak jarang hal demikian berubah menjadi konflik horizontal antar entitas sosial yang mengancam proses integrasi dan eksistensi masyarakat majemuk secara umum. Menelisik pola yang linier demikian, maka jelaslah bahwa potensi konflik yang ada dalam masyarakat majemuk merupakan pantulan dari besar kecilnya perbedaan atau kesenjangan yang dimilliki oleh masing-masing entitas sosial terhadap entitas lainnya dalam masyaraakat majemuk.


EPILOG ; Menju Masyarakat Terbuka


Masyarakat Indonesia yang majemuk ini, jika ditinjau dari sisi mentalitasnya dengan menggunakan pendekatan historis maaka akan dittemukan bahwa keadaan sosial masyarakat majemuk di Indonesia sekarang ini sesungguhnya adalah pantulan atas konflik besar yang hingga kini masih terjadi dalam tubuh masyarakat Indonesia, yakni antara masyarakat Warisan di satu sisi, melawan masyarakat Merdeka di sisi lainnya. Masyarakat warisan disini adalah masyarakat yang kelahirannya dilatar belakangi oleh kondisi sosial Indonesia masa pemerintahan Kerajaan Konsentris dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, sehingga masyarakat ini masih memakai pola kolonialis, feodalistik dan patriarkhi dalam segenap corak dan sisi kehidupannya, dan pola demikian masih diwariskan dari generasi terdahulu ke generasi sekarang dalam bentuk semangat zaman, dengan mencoba menghadirkan kembali mentalitas masyarakat Indonesia masa lalu dalam konteks kekinian. Umumnya penganut pola masyarakat warisan memandang masa kekinian dengan penuh sinisme dan dalam menentukan langkah sosial dan budaya yang dilakukannya, selalu bercorak konservatif serta pendukung setia atas kemapanan saat ini, yang di-claim sebagai bukti kejayaan dan produk keagungan masa lalu, oleh karenanya mereka juga berpendapat bahwa konstruksi sosial yang ada sekarang sudah stabil dan ideal, karenanya perubahan yang mendasar dalam masyarakat adalah suatu hal yang dipandang tidak perlu oleh masyarakat warisan ini. Sedangkan masyarakat Merdeka ini lahir dilatar belakangi oleh semangat zaman pada masa kemerdekaan ketika bangsa indonesia terlepas dari dominasi pemerintah kolonial dan elite lokal feodal. Sebagai masyarakat yang lahir kemudian, maka mentalitas masyarakat Merdeka merupakan pantulan perlawanan terhadap mentalitas masyarakat warisan. Karakter masyarakat merdeka yang anti terhadap segala bentuk status Quo dan akan melakukan segenap cara yang mungkin dapat dilakukan untuk memberangusnya. Hal demikian dilakukan karena traumatis masa lalu yang dialaminya. Dalam hal visi akan realitas, maka masyarakat Merdeka ini memandang masa depan dengan penuh optimisme serta cenderung memandang realitas dengan pandangan jauh ke depan (visioner), membawa “masa depan” dalam konteks kekinian, dan sangat menghargai karya-kaarya kekinian yang orisinil. Pergulatan sosial antara kedua corak masyarakat ini tetap terus berlangsung, sehingga masing-masing kelompok memendam potensi konfliknya masing-masing yang seringkali percikan-percikan api konflik tersebut mencuat kepermukaan pada bidang-bidang kemasyarakatan yang memungkinkan mereka untuk bertemu, semisal pada bidang perpolitikan. Jika stabilitas dan harmonisasi sosial adalah harapan yang ingin direalisasikan dalam bentuk praksis di tengah-tengah masyarakat, maka harus ada suatu format masyarakat majemuk baru yang dapat memendam potensi konflik lebih dalam lagi, sehingga resistansi terhadap konflik dapat lebih kuat, serta senantiasa memakai cara-cara yang tidak mengganggu stabilitas masyarakat pada umumnya jika terjadi gesekan, benturan atau disharmoni sosial antar entitas dalam masyarakat majemuk. Format baru bagi masyarakat majemuk ini adalah aapa yang penulis sebut sebagai Masyarakat Terbuka. Istilah ini mengadopsi konsep Karl R Popper, The Open Society (1984). Masyarakat ini terlahir dari kondisi Indonesia pasca Gerakan Reformasi 1998, mentalitas yang lahir pasca mentalitas masyarakat merdeka ini mewakili kondisi intelektual muda Indonesia dengan karakter khasnya yakni ; senantiasa menggunakan pendekatan dialogis dalam membina keselarasan sosial, meminimalisir dan mengelola konflik secara sehat dengan mengakui serta menerima segenap perbedaan dalam masyarakat, serta menyadari bahwa realitas yang ada saat ini adalah saat untuk berkarya sebaik-baiknya untuk investasi masa depan. Kecenderungan sikap antara pragmatis dan visioner ini menjadikan generasi pasca Reformasi 1998 adalah generasi yang lebih mendahulukan pemahaman atas segala sesuatu serta penuh perhitungan. Akan halnya masa lalu, maka masyarakat terbuka akan lebih selektif dalam menghadirkan masa lalu itu ketengah-tengah kekinian, karena yang ingin dicapai adalah harmonisasi sosial dalam masyaarakat. Mentalitas masyarakat teerbuka ini adalah gambaran ideal bagi Masyarakat majemuk Indonesia di masa yang akan datang di tengah himpitan ddan tekanan globalisasi di segenap bidang hidup kemanusiaan dalam konteks global di satu sisi, dan ancaman disintegrasi bangsa Indonesia sebagai tantangan lokal ke-Indonesiaan yang mampu mengancam keutuhan Indonesia sebagai bangsa majemuk yang terintegrrasi. Mentalitas tengah-tengah antara mentalitas masyarakat Warisan dan masyarakat Merdeka ini, pada awalnya bersifat elitis, yakni hanya di kalangan mereka yang terdidik saja. Namun, kesenjangan ini dapat diatasi dengan adanya sosialisasi ideologi masyarakat terbuka ini yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Gerakan penyadaran akan pentingnya membangun mentalitas masyarakat majemuk dalam konteks ke-Indonesiaan ini perlu dilakukan dengan segera di segenap cara yang mungkin di lakukan, dengan menggunakan jalur pendidikan sebagai jalur utama dari strateegi penyadaran massal ini. Pola dan corak Masyarakat baru ini muncul sebagai pola tandingan sekaligus juga sebagai jawaban atas dua pola masyarakat yang telah ada sebelumnya yang telah terbukti gagal dalam mencapai harmonisasi sosial, bahkan pangkal dari disharmoni sosial yang terjadi di Indonesia selama ini berasal dari konflik berkepanjangan antara dua masyarakat penganut-penganut dua mentalitas masyarakat tersebut.

Catatan
Ditulis di Pemuda Asli II/2, Rawamangun pada 6 Juli 2002, sebagai Tugas Akhir Semester dari Mata Kuliah Integrasi dan Asimilasi, pada perkuliahan Semester Genap 2001-2002, dibawah bimbingan Drs. Budiaman, M.Si.
|
0 Responses

Posting Komentar

kirimkan tanggapan anda