Pengantar ; Senjakala Ilmu Sejarah ?
Dunia dan perkembangannya yang kita saksikan serta realitas mikro maupun makro kosmos yang kita hadapi pada hari ini sangat berbeda dengan dunia di hari-hari kemarin. Perkembangan yang begitu cepat di satu aspek menstimulasi perkembangan di aspek lainnya yang pada akhirnya juga ikut mengalami percepatan. Pencapaian inovasi teknologi informasi dalam beberapa puluh tahun terakhir menstimulasi hampir semua aspek kehidupan. Hampir dapat dipastikan, jika ada beberapa aspek atau hal tertentu yang gagal mengakselerasikan diri dan komunitasnya dengan percepatan ini, maka perkembangannya cenderung melambat bahkan berada diambang kepunahan. Kajian sejarah, sebagai suatu asset milik masyarakat manusia, tak luput dari dorongan percepatan dunia sekarang ini. Setidaknya ada beberapa tiga tantangan utama yang nantinya memaksa ilmu sejarah untuk memoderasi beberapa aspek prinsip dan teknis dalam dirinya sehingga sanggup mempertahankan identitasnya sebagai asset berharga milik masyarakat. Ketiga aspek tersebut adalah ; pertama, tantangan penafsiran ulang atas waktu dan ruang serta “posisinya” dalam menentukan periodisasi perkembangan masyarakat, kedua, tantangan paradigma “kebenaran” dalam historiografi dan “kebenaran” dalam system nilai masyarakat, serta ketiga, tantangan untuk berdamai dengan modernitas.
Tantangan pertama ; Penafsiran Waktu dan Ruang
Penulisan sejarah, senantiasa terkait dengan dua hal mendasar sebagai medium utama kajian sejarah, yakni waktu dan ruang. Namun, bagaimana jadinya jika pada perkembangan epistemology (perangkat cara pandang) ilmu pengetahuan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini memunculkan suatu hipotesis baru yang dianggap mampu menafsir secara lebih logis tentang hubungan waktu dan ruang dengan proses social ?. Ilmu sejarah, yang mendasarkan kajiannya dalam perspektif waktu dan ruang juga perlahan-lahan akan mengalami penuntutan tersebut agar dianggap mampu menyesuaikan dengan paradigma baru dan perkembangan mutakhir yang berangsung ditengah masyarakat. Keterlibatan waktu dan ruang dalam teori ilmu-ilmu social dan ilmu sejarah merupakan suatu yang tidak dapat ditawar. Daya konstitutif waktu dan ruang itu tampak jelas dalam gejala bahwa waktu dan ruang menentukan makna tindakan kita dan menjadikan perbedaan nama tindakan yang satu dengan tindakan yang lain. Sesuatu, tidak hanya berada dalam konteks waktu dan ruang, tetapi lebih dari itu, waktu dan ruang lah yang telah membentuk makna dari sesuatu tersebut. Singkatnya, hubungan antara waktu, ruang, dan tindakan merupakan hubungan ontologis. Tanpa waktu dan ruang, tidak akan ada yang disebut sebagai tindakan, dan bagitu pula sebaliknya. Dalam konstelasi pemikiran abad informasi ini, “waktu dan ruang” semakin disadari perannya karena keduanya adalah unsur utama pembentuk identitas atas tindakan beserta makna yang dikandungnya. Hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara waktu dan ruang merupakan factor yang lebih sentral dalam menjelaskan keberadaan hidup masyarakat, Pilihan atas bagaimanakah cara hubungan waktu dan ruang dikoordinasi dalam praktik social, merupakan hal yang membedakan antara masyarakat modern dari masyarakat sebelumnya. Illustrasi sederhananya sebagai berikut ini ; Seseorang di Banten yang menghubungi keluarganya di Mataram pada abad 17 membutuhkan waktu setidaknya sebulan perjalanan. Pada saat itu, “waktu” ketika bertemu tidak dapat dipisahkan dari “tempat” dimana ia bertemu. Dengan demikian, kapan (waktu) harus bersatu dengan “dimana” (tempat). Sementara, seseorang yang melakukan hal yang sama di tahun 2006, maka kini ia hanya butuh sepersekian detik untuk menghubungi keluarganya melalui telephone seluler, atau paling lama sehari jika ditempuh dengan angkutan umum jalan darat. Pada saat ini, “kapan” tidak lagi berhubungan dengan “dimana”. Gejala penghilangan “waktu” atas “ruang” demikianlah inilah yang menjadi salah satu ciri tak terbantahkan dari masyarakat modern. Dapat dikatakan, masyarakat adalah pelintas waktu dalam sejarah pertumbuh kembangannya. Kini, waktu dan ruang tidak lagi dianggap saling berhubungan, namun diyakini sebagai suatu yang terpisah, atau setidaknya tidak saling melengkapi. Jika terminology “waktu” dan “ruang” telah mengalami perubahan, maka bagaimanakah sejarah akan ditulis dan dikisahkan?.
Tantangan kedua ; Historiografi dan system nilai masyarakat
Perkembangan teknologi informasi beserta akses perolehan informasi yang semakin mudah, memunculkan sebentuk kehidupan dunia yang bergerak cepat dan trend percepatannya berbanding lurus dengan ragam inovasi peralatan kehidupan yang memungkinkan terlaksananya percepatan-percepatan tersebut. Bagaimanakah kajian sejarah dan penulisan sejarah menghadapi fakta yang demikian ini ? Pada saat realitas “waktu” tidak lagi berhubungan dengan realitas “ruang” maka dapatkah dibayangkan corak penulisan sejarah di masa mendatang, misalnya 200 tahun yang akan datang sejak 2006 ?. Kebenaran sejarah mengalami pemisahan yang tegas dan dalam beberapa aspek akan berada pada posisi yang saling berhadapan bahkan berlawanan. Kebenaran akademis atau kebenaran secara metodologis, yang tentunya spesifik dan penguasaannya hanya dimiliki sedikit orang, akan mendapat “pesaing” yakni kebenaran menurut system nilai yang dapat diterima masyarakat. Jika kebenaran metodologis-akademis adalah sesuatu yang dicirikan dengan penguasaannya yang terbatas dan oleh sedikit orang , memiliki parameter yang jelas dan berlaku dalam jaringan komunitas global yang sama maka kebenaran “yang dapat diterima” menurut system nilai masyarakat dicirikan dengan kepemilikan dalam spectrum yang luas serta terjadi proses dialektika yang berlangsung terus menerus dan karenanya tidak ditemukannya suatu parameter baku tentang apakah kebenaran dan bagaimana kebenaran tersebut dapat diterima. Boleh jadi, seiring dengan semaraknya inovasi teknologi yang membantu percepatan proses social dan kemandirian masyarakat, akan ada sangat banyak sistem nilai yang kemunculannya seiring dengan kemunculan komunitas-komunitas manusia yang membentuk suatu masyarakat. Disinilah letaknya tantangan bagi sejarawan yakni bagaimanakah mengkomunikasikan hasil penelitian sejarah yang sudah dilakukannya kepada masyarakat sehingga aspek aksiologis dari ilmu sejarah dapat terpenuhi. Sejarawan, dengan metodologi yang dimilikinya memang dapat mengungkap beragam rupa kebenaran sebagai hasil dari proses dialognya dengan masa lalu. Ia dapat saja menyingkap, meneguhkan bahkan mendekonstruksi identitas suatu masyarakat, namun system nilai yang berlaku di suatu masyarakat itu sendirilah yang akan menentukan apakah hasil karya sang sejarawan dapat diterima atau ditolak, diperlakukan secara sacral sebagai suatu yang monumental dalam ingatan kolektif masyarakat, atau akhirnya hanya mendapat tempat sebagai sebuah pengetahuan yang sepintas lalu untuk kemudian terlupakan, tenggelam dalam hiruk pikuk masyarakat yang mengalami percepatan terus menerus. Jika tantangan mengkomunikasikan ini gagal dijawab, atau bahkan pada akhirnya berada pada situasi yang saling berhadapan dan bertentangan, maka sejarawan beresiko akan kehilangan masyarakat sebagai pendengar sekaligus peminat setianya, dan implikasi lanjutannya adalah historografi tidak lagi memiliki aspek aksiologis (kebermanfaatan kajian) yang dihasilkannya bagi pertumbuhkembangan masyarakat. Jika tahap ini telah sampai dan dialami oleh ilmu sejarah, maka kepunahan ilmu sejarah dalam belantika ilmu pengetahuan tinggal menunggu waktu. Kehilangan ruh aksiologisnya, menjadikan ilmu sejarah sepi peminat, dan mengalami kegagalan kaderisasi. Kalaupun masih ada yang menekuni Ilmu Sejarah pada situasi demikian, akan serupa dengan nyanyian sunyi seorang bisu di tengah dunia yang tunggang-langgang (silence voices in a runaway world).
Tantangan ketiga ; Berdamai dengan modernitas
Dari kedua tantangan utama sebagaimana dipaparan diatas, maka focus pertanyaannya beralih pada hal-hal yang sifatnya praktis dan teknis. Bagaimanakah Ilmu sejarah mempertahankan dirinya agar identitas agungnya sebagai asset miik masyarakat tetap dapat dipertahankan. Jika pertanyaan ini tidak segera memperoleh jawaban praktis yang bisa diterima masyarakat, maka Ilmu sejarah tidak lagi dipandang sebagai asset berharga yang mampu terus-menerus memberikan kontibusi konstruktif bagi masyarakat, melainkan akan menerima perlakuan sebagai rongsokan besi tua yang harus disingkirkan dan dilupakan. Untuk itu, dalam paparan berikut ini ada beberapa rekomendasi yang dapat penulis ketengahkan. Kunci utama dalam memoderasi diri dalam dunia yang tunggang langgang (runaway world) sekarang ini adalah bagaimana menciptakan suatu yang semula rumit dan sukar prosesnya serta membutuhkan waktu yang lama menjadi lebih mudah, murah dan cepat namun tanpa mengurangi kualitasnya dari produk aslinya. Ini tidak lantas serta merta menjadikan ilmu sejarah sebagai “barang dagangan” di pasar liberal, namun merupakan sebentuk ikhtiar di senjakala Ilmu Sejarah agar masih mampu berkontribusi bagi pertumbuh kembangan masyarakat. Rekomendasi pertama adalah membuka seluas-luasnya hasil penelitian para sejarawan akademis kepada public, dan juga sumber sumber asli penelitian sejarah direproduksi atau direstoasi ulang serta diarsipkan dalam bentuk digital untuk kemudian dibuka akses yang seluas-luasnya kepada public. Ini merupkan langkah stimulasi kepada masyarakat agar karya sejarah apapun yang akan dibuat oleh masyarakat (sejarawan non akademis) dapat merujuk pada sumber asli atau karya yang dihasilkan sejarawan akademis tersebut, sehingga ada semacam “referensi pembanding” disamping “sumber asli” yang sama-sama diketahui public. Distorsi, pemalsuan dan pembungkaman sejarah akan dapat dihindarkan dengan sendirinya dan masyarakatlah yang menjadi hakim atas kebenaran macam apa yang nantinya akan dapat diterima. Demikian, sehingga dialektika sejarah berlangsung tanpa batas waktu dan ruang dan dalam spectrum yang luas, serta yang pasti tidak ada kebenaran tunggal yang berlaku di masyarakat kecuali kebenaran metodologis hasil karya sang sejarawan, dan sejarawan kembali muncul sebagai pemenang sementara dalam pergulatan modernitas. Selanjutnya, dalam rangka membudayakan penulisan sejarah yang tetap mempertahankan kesahihan sumber dan kebenaran metodologis, maka proses belajar penulisan sejarah perlu dipermudah, dengan pembuatan semacam manual book dalam bahasa dan contoh yang mudah dipahami masyarakat. Manual Book ini berisikan landasan konsepsi, gambaran umum, dan teknis detail beserta contoh pada tiap tahapan yang harus dilalui dalam menghasilkan penelitian sejarah. Manual Book ini juga harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Dan terakhir, perlu dilakukan perluasan kewenangan lembaga komunitas sejarawan yang semula sebatas pemelihara komunitas dan pusat kajian, kini mengembangkan diri menjadi semacam lembaga penjamin mutu yang dapat memunculkan fatwa atau keputusan benar tidaknya suatu historiografi secara metodologis, disamping sebagai produsen tunggal manual book diatas
Dunia dan perkembangannya yang kita saksikan serta realitas mikro maupun makro kosmos yang kita hadapi pada hari ini sangat berbeda dengan dunia di hari-hari kemarin. Perkembangan yang begitu cepat di satu aspek menstimulasi perkembangan di aspek lainnya yang pada akhirnya juga ikut mengalami percepatan. Pencapaian inovasi teknologi informasi dalam beberapa puluh tahun terakhir menstimulasi hampir semua aspek kehidupan. Hampir dapat dipastikan, jika ada beberapa aspek atau hal tertentu yang gagal mengakselerasikan diri dan komunitasnya dengan percepatan ini, maka perkembangannya cenderung melambat bahkan berada diambang kepunahan. Kajian sejarah, sebagai suatu asset milik masyarakat manusia, tak luput dari dorongan percepatan dunia sekarang ini. Setidaknya ada beberapa tiga tantangan utama yang nantinya memaksa ilmu sejarah untuk memoderasi beberapa aspek prinsip dan teknis dalam dirinya sehingga sanggup mempertahankan identitasnya sebagai asset berharga milik masyarakat. Ketiga aspek tersebut adalah ; pertama, tantangan penafsiran ulang atas waktu dan ruang serta “posisinya” dalam menentukan periodisasi perkembangan masyarakat, kedua, tantangan paradigma “kebenaran” dalam historiografi dan “kebenaran” dalam system nilai masyarakat, serta ketiga, tantangan untuk berdamai dengan modernitas.
Tantangan pertama ; Penafsiran Waktu dan Ruang
Penulisan sejarah, senantiasa terkait dengan dua hal mendasar sebagai medium utama kajian sejarah, yakni waktu dan ruang. Namun, bagaimana jadinya jika pada perkembangan epistemology (perangkat cara pandang) ilmu pengetahuan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini memunculkan suatu hipotesis baru yang dianggap mampu menafsir secara lebih logis tentang hubungan waktu dan ruang dengan proses social ?. Ilmu sejarah, yang mendasarkan kajiannya dalam perspektif waktu dan ruang juga perlahan-lahan akan mengalami penuntutan tersebut agar dianggap mampu menyesuaikan dengan paradigma baru dan perkembangan mutakhir yang berangsung ditengah masyarakat. Keterlibatan waktu dan ruang dalam teori ilmu-ilmu social dan ilmu sejarah merupakan suatu yang tidak dapat ditawar. Daya konstitutif waktu dan ruang itu tampak jelas dalam gejala bahwa waktu dan ruang menentukan makna tindakan kita dan menjadikan perbedaan nama tindakan yang satu dengan tindakan yang lain. Sesuatu, tidak hanya berada dalam konteks waktu dan ruang, tetapi lebih dari itu, waktu dan ruang lah yang telah membentuk makna dari sesuatu tersebut. Singkatnya, hubungan antara waktu, ruang, dan tindakan merupakan hubungan ontologis. Tanpa waktu dan ruang, tidak akan ada yang disebut sebagai tindakan, dan bagitu pula sebaliknya. Dalam konstelasi pemikiran abad informasi ini, “waktu dan ruang” semakin disadari perannya karena keduanya adalah unsur utama pembentuk identitas atas tindakan beserta makna yang dikandungnya. Hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara waktu dan ruang merupakan factor yang lebih sentral dalam menjelaskan keberadaan hidup masyarakat, Pilihan atas bagaimanakah cara hubungan waktu dan ruang dikoordinasi dalam praktik social, merupakan hal yang membedakan antara masyarakat modern dari masyarakat sebelumnya. Illustrasi sederhananya sebagai berikut ini ; Seseorang di Banten yang menghubungi keluarganya di Mataram pada abad 17 membutuhkan waktu setidaknya sebulan perjalanan. Pada saat itu, “waktu” ketika bertemu tidak dapat dipisahkan dari “tempat” dimana ia bertemu. Dengan demikian, kapan (waktu) harus bersatu dengan “dimana” (tempat). Sementara, seseorang yang melakukan hal yang sama di tahun 2006, maka kini ia hanya butuh sepersekian detik untuk menghubungi keluarganya melalui telephone seluler, atau paling lama sehari jika ditempuh dengan angkutan umum jalan darat. Pada saat ini, “kapan” tidak lagi berhubungan dengan “dimana”. Gejala penghilangan “waktu” atas “ruang” demikianlah inilah yang menjadi salah satu ciri tak terbantahkan dari masyarakat modern. Dapat dikatakan, masyarakat adalah pelintas waktu dalam sejarah pertumbuh kembangannya. Kini, waktu dan ruang tidak lagi dianggap saling berhubungan, namun diyakini sebagai suatu yang terpisah, atau setidaknya tidak saling melengkapi. Jika terminology “waktu” dan “ruang” telah mengalami perubahan, maka bagaimanakah sejarah akan ditulis dan dikisahkan?.
Tantangan kedua ; Historiografi dan system nilai masyarakat
Perkembangan teknologi informasi beserta akses perolehan informasi yang semakin mudah, memunculkan sebentuk kehidupan dunia yang bergerak cepat dan trend percepatannya berbanding lurus dengan ragam inovasi peralatan kehidupan yang memungkinkan terlaksananya percepatan-percepatan tersebut. Bagaimanakah kajian sejarah dan penulisan sejarah menghadapi fakta yang demikian ini ? Pada saat realitas “waktu” tidak lagi berhubungan dengan realitas “ruang” maka dapatkah dibayangkan corak penulisan sejarah di masa mendatang, misalnya 200 tahun yang akan datang sejak 2006 ?. Kebenaran sejarah mengalami pemisahan yang tegas dan dalam beberapa aspek akan berada pada posisi yang saling berhadapan bahkan berlawanan. Kebenaran akademis atau kebenaran secara metodologis, yang tentunya spesifik dan penguasaannya hanya dimiliki sedikit orang, akan mendapat “pesaing” yakni kebenaran menurut system nilai yang dapat diterima masyarakat. Jika kebenaran metodologis-akademis adalah sesuatu yang dicirikan dengan penguasaannya yang terbatas dan oleh sedikit orang , memiliki parameter yang jelas dan berlaku dalam jaringan komunitas global yang sama maka kebenaran “yang dapat diterima” menurut system nilai masyarakat dicirikan dengan kepemilikan dalam spectrum yang luas serta terjadi proses dialektika yang berlangsung terus menerus dan karenanya tidak ditemukannya suatu parameter baku tentang apakah kebenaran dan bagaimana kebenaran tersebut dapat diterima. Boleh jadi, seiring dengan semaraknya inovasi teknologi yang membantu percepatan proses social dan kemandirian masyarakat, akan ada sangat banyak sistem nilai yang kemunculannya seiring dengan kemunculan komunitas-komunitas manusia yang membentuk suatu masyarakat. Disinilah letaknya tantangan bagi sejarawan yakni bagaimanakah mengkomunikasikan hasil penelitian sejarah yang sudah dilakukannya kepada masyarakat sehingga aspek aksiologis dari ilmu sejarah dapat terpenuhi. Sejarawan, dengan metodologi yang dimilikinya memang dapat mengungkap beragam rupa kebenaran sebagai hasil dari proses dialognya dengan masa lalu. Ia dapat saja menyingkap, meneguhkan bahkan mendekonstruksi identitas suatu masyarakat, namun system nilai yang berlaku di suatu masyarakat itu sendirilah yang akan menentukan apakah hasil karya sang sejarawan dapat diterima atau ditolak, diperlakukan secara sacral sebagai suatu yang monumental dalam ingatan kolektif masyarakat, atau akhirnya hanya mendapat tempat sebagai sebuah pengetahuan yang sepintas lalu untuk kemudian terlupakan, tenggelam dalam hiruk pikuk masyarakat yang mengalami percepatan terus menerus. Jika tantangan mengkomunikasikan ini gagal dijawab, atau bahkan pada akhirnya berada pada situasi yang saling berhadapan dan bertentangan, maka sejarawan beresiko akan kehilangan masyarakat sebagai pendengar sekaligus peminat setianya, dan implikasi lanjutannya adalah historografi tidak lagi memiliki aspek aksiologis (kebermanfaatan kajian) yang dihasilkannya bagi pertumbuhkembangan masyarakat. Jika tahap ini telah sampai dan dialami oleh ilmu sejarah, maka kepunahan ilmu sejarah dalam belantika ilmu pengetahuan tinggal menunggu waktu. Kehilangan ruh aksiologisnya, menjadikan ilmu sejarah sepi peminat, dan mengalami kegagalan kaderisasi. Kalaupun masih ada yang menekuni Ilmu Sejarah pada situasi demikian, akan serupa dengan nyanyian sunyi seorang bisu di tengah dunia yang tunggang-langgang (silence voices in a runaway world).
Tantangan ketiga ; Berdamai dengan modernitas
Dari kedua tantangan utama sebagaimana dipaparan diatas, maka focus pertanyaannya beralih pada hal-hal yang sifatnya praktis dan teknis. Bagaimanakah Ilmu sejarah mempertahankan dirinya agar identitas agungnya sebagai asset miik masyarakat tetap dapat dipertahankan. Jika pertanyaan ini tidak segera memperoleh jawaban praktis yang bisa diterima masyarakat, maka Ilmu sejarah tidak lagi dipandang sebagai asset berharga yang mampu terus-menerus memberikan kontibusi konstruktif bagi masyarakat, melainkan akan menerima perlakuan sebagai rongsokan besi tua yang harus disingkirkan dan dilupakan. Untuk itu, dalam paparan berikut ini ada beberapa rekomendasi yang dapat penulis ketengahkan. Kunci utama dalam memoderasi diri dalam dunia yang tunggang langgang (runaway world) sekarang ini adalah bagaimana menciptakan suatu yang semula rumit dan sukar prosesnya serta membutuhkan waktu yang lama menjadi lebih mudah, murah dan cepat namun tanpa mengurangi kualitasnya dari produk aslinya. Ini tidak lantas serta merta menjadikan ilmu sejarah sebagai “barang dagangan” di pasar liberal, namun merupakan sebentuk ikhtiar di senjakala Ilmu Sejarah agar masih mampu berkontribusi bagi pertumbuh kembangan masyarakat. Rekomendasi pertama adalah membuka seluas-luasnya hasil penelitian para sejarawan akademis kepada public, dan juga sumber sumber asli penelitian sejarah direproduksi atau direstoasi ulang serta diarsipkan dalam bentuk digital untuk kemudian dibuka akses yang seluas-luasnya kepada public. Ini merupkan langkah stimulasi kepada masyarakat agar karya sejarah apapun yang akan dibuat oleh masyarakat (sejarawan non akademis) dapat merujuk pada sumber asli atau karya yang dihasilkan sejarawan akademis tersebut, sehingga ada semacam “referensi pembanding” disamping “sumber asli” yang sama-sama diketahui public. Distorsi, pemalsuan dan pembungkaman sejarah akan dapat dihindarkan dengan sendirinya dan masyarakatlah yang menjadi hakim atas kebenaran macam apa yang nantinya akan dapat diterima. Demikian, sehingga dialektika sejarah berlangsung tanpa batas waktu dan ruang dan dalam spectrum yang luas, serta yang pasti tidak ada kebenaran tunggal yang berlaku di masyarakat kecuali kebenaran metodologis hasil karya sang sejarawan, dan sejarawan kembali muncul sebagai pemenang sementara dalam pergulatan modernitas. Selanjutnya, dalam rangka membudayakan penulisan sejarah yang tetap mempertahankan kesahihan sumber dan kebenaran metodologis, maka proses belajar penulisan sejarah perlu dipermudah, dengan pembuatan semacam manual book dalam bahasa dan contoh yang mudah dipahami masyarakat. Manual Book ini berisikan landasan konsepsi, gambaran umum, dan teknis detail beserta contoh pada tiap tahapan yang harus dilalui dalam menghasilkan penelitian sejarah. Manual Book ini juga harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Dan terakhir, perlu dilakukan perluasan kewenangan lembaga komunitas sejarawan yang semula sebatas pemelihara komunitas dan pusat kajian, kini mengembangkan diri menjadi semacam lembaga penjamin mutu yang dapat memunculkan fatwa atau keputusan benar tidaknya suatu historiografi secara metodologis, disamping sebagai produsen tunggal manual book diatas