Ditulis oleh Maud Boshart, salah satu anggota Marinir Angkatan Laut Belanda yang terlibat langsung dalam pemberontakan ini
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Rahmat Akbar
Ya, pada waktu itu memang banyak terjadi pemberontakan. Setiap harinya pasti ada peristiwa-peristiwa menegangkan yang terjadi, selalu ada unjuk rasa dan pertemuan, serta di bagian utara Sumatera terjadi pemberontakan penduduk, Semua ini membuat pemerintah kolonial menjadi panik.
Hari-hari selanjutnya adalah hari yang berat bagi pemerintah Belanda. Pada tahun 1928-1929 di Jawa dan Sumatera banyak terjadi pemberontakan hebat yang menentang kekuasaan pemerintahan Belanda, meskipun berbagai upaya telah dicoba untuk meredam tetapi semangat pemberontakan tetap saja berkobar. Ditambah lagi dengan terjadinya krisis ekonomi dunia pada tahun 1929, dimana kas negara beberapa tahun terakhir mengalami defisit ratusan juta. Berhemat, itulah semboyan yang muncul, dan akibatnya armada laut Pelayaran Hindia Belanda pun mendapat potongan gaji sebesar 5% kemudian menjadi 8%. Pada pemotongan ketiga sebesar 10%, yang berarti ini sudah batas pemotongan.
Pada waktu itu saya adalah pemimpin Perkumpulan Armada Laut Eropa dan kami pun segera mengadakan pertemuan unjuk rasa dengan suasana hati yang berkobar-kobar. Kami mulai dengan mengirimkan sebuah telegram kepada pemerintah yang isinya antara lain adalah bahwa Badan Pengurus tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap personil armada laut untuk masih mentaati peraturan angkatan. Kemungkinan pemerintah masih syok, kami di Badan Pengurus memutuskan untuk mengadakan hubungan dengan Perkumpulan Armada Laut Pribumi yang pengurusnya sudah mulai menentang penjajahan kulit putih. Aksi kami berhasil, keesokan harinya kami mendapat berita bahwa pemotongan gaji tidak akan berlanjut.
Pimpinan armada laut terkejut. Segera tersedia sejumlah kapal berawak. Tujuannya jelas yaitu untuk menguasai peraturan kelautan dibanding daratan, dan dengan prinsip itu dipisahlah orang-orang umum dengan raddraaiers (yang ahli). Saya sendiri mendapat perintah untuk menaiki kapal Tujuh Propinsi yang dikirim untuk mengelilingi Sumatera selama dua bulan tetapi tanpa hasil. Itu adalah sebuah perjalanan, setidak-tidaknya itulah yang tertancap di benak kami sebagai pimpinan armada laut. Suasana di kapal pastinya tidak baik dan makanan tidak layak ada di sana sebagai bagian dari sebuah kesalahan yang tidak begitu penting. Sebagian makanan yang tersedia adalah persediaan makanan selama perang, yang sudah 15 tahun disimpan dan digantikan sebagai barang dagangan yang segar. Jadi selama 15 tahun kami memakan sejenis ikan laut dari kaleng dan capucijners yang diproduksi pada tahun yang sama. Senin harinya koki menyediakan knikkers dengan beberapa soda dan ini berlangsung sampai hari Kamis. Kentang Juliana , kami menyebutnya. Keluhan bertubi-tubi datang dari komandan, namun dijawab makanan itu memang tidak begitu segar tetapi masih pantas untuk dikonsumsi. Sejak awak kapal menolak mengikuti pertandingan sepak bola persahabatan dengan kesebelasan Sibolga (dengan perut kosong bagaimana mungkin kami bisa bermain sepak bola) dapat dijelaskan dengan kalimat sederhana dan siapa yang tidak ambil bagian akan dikirim ke provoost.··
Selanjutnya datang berita bahwa pemotongan gaji tetap berlaku sebesar 7%, bukan 10%. Para pemuda menjadi marah karena berita ini dan dari ruang sein kami mendengar berbagai reaksi dari para armada kapal. Di Surabaya para armada akan mengadakan unjuk rasa tetapi tidak dijinkan dan ditolak oleh dinas yang berkepentingan. Sejumlah pemuda dijebloskan ke dalam penjara. Hingga kami mengadakan pertemuan unjuk rasa di kapal Tujuh Propinsi diijinkan, baru akhirnya keluar juga kata-kata yang selama ini disembunyikan : tidak ada pembicaraan mengenai pemotongan gaji lagi.
Pada saat Bagian Kesekretariatan mengirimkan telegram yang berisi Turut prihatin dan lanjutkan aksimu, ia langsung menghilang selama 14 hari dalam penjara. Suasana pun menjadi sangat panas. Pelabuhan Oleh-leh pun dibom.
Untuk menenangkan situasi para komandan bersaing untuk membuat pesta di sekitar Oleh-leh seharga 500 gulden, dimana di sana akan bersenang-senang dan berdansa dengan wanita Eropa. Kabar ini menimbulkan kecurigaan karena dimana-mana terjadi perselisihan antara kelasi dan prajurit kolonial. Kami sangat memahami bahwa pesta ini adalah sebagai sarana untuk menarik perhatian. Sangat sedikit orang Eropa yang menghadiri pesta ini. Dan pada umumnya orang Indonesia juga tidak menghiraukan undangan ini...
Pada malam hari tanggal 3 Februari awak kapal Indonesia mengambil sebuah keputusan, pimpinan Tujuh Propinsi mengambil inisiatif untuk berlayar ke Surabaya membebaskan teman-teman yang tertangkap. Awak Eropa tidak percaya melihat hal ini. Mereka sama sekali tidakmenduga. Pagi hari tanggal 4 Februari, Ketua Cabang Perkumpulan Armada Laut Dalam Negeri, Hendrik, berkata pada saya,Malam ini kita akan berlayar ke Surabaya, tetapi saya menanggapinya sebagai sebuah gurauan. Aksi ini dipersiapkan dengan teliti, siapa yang masih hidup dia yang akan menjadi pimpinan Perkumpulan Angkatan Laut Eropa. Dengan jiwa reformisnya dia berdiri diam seharian di bagian tepi kapal terhanyut dengan pengetahuannya. Tanggal 4 Februari saya memiliki sebuah sekoci (Oleh-leh tidak mempunyaipelabuhan dan Tujuh Porpinsi berlabuh sekitar 1 sampai 1½ km dari pantai). Seharian suasana damai, beberapa pemuda pergi ke daratan, ini pun dapat dipahami. Malam harinya tiba-tiba datang seorang letnan kelas tigamengejar dan memerintahkan saya untuk membawanya ke kapal. Ternyata pimpinan sudah tewas, di bawah hati nuraninya dan komandan pun berteriak di tengah riuhnya pesta di kantin KNIL. Peristiwa ini benar-benar dianggap sebagai lelucon yang sangat lucu, tetapi membuat suram bagi salah seorang bawahan, yang sekarang sedang bersama saya menuju kapal. Ketika kami bersandar di sisi kapal, ternyata tempat kejadian tadi rusak. Segera kapaldipenuhi oleh orang-orang Indonesia bersenjata dan seorang opsir yang datang dengan tergesa-gesa. Bagian penutup meriam dipukul, amunisi mulai berbunyi, lampu sorot mulai terlepas. Di bawah, Paradji dan Gosal (pemimpin) memberi perintah, apakah mereka tidak pernah melakukan hal ini dan kotak amunisi yang berisi granat sepanjang 15cm diangkat atau ini hanyalah urusan yang berkepentingan.
Melihat raut wajah orang Indonesia yang bersenjata, terlintas dalam benak saya bahwa tidak boleh ada korban lagi! Saya berlari ke belakang dan bertemu dengan sejumlah opsir yang berbicara kasar kepada saya bahwa saya harus membuat peraturan dan menangani situasi ini. Saya pun mencoba untuk mengatur dan mengatasi keadaan ini. Saya yakin bisa melakukan yang terbaik dan mereka pun percaya. Tentu saja tidak banyak yang bisa saya lakukan. Orang-orang Indonesia sangat keras. Saya berusaha mengatasinya dengan cara tidak menembak dan keadaan baru dapat ditangani ketika ada kesepakatan bahwa tidak ada penggunaan senjata, sebagaimana yang juga dilakukan opsir.
Salah satu dari pejuang berjalan ke arah radiohut dan saya masih dapat menerima bahwa dia juga hidup melalui tiupan. Sayang sekali kopral, seru seorang Indonesia. Itu baru saja menjadi miliknya.
Saya mendengar, Kembali ke ruang kommando,. Ruang sein masih dikuasai opsir dan awak kapal bertanya apa yang harus dia lakukan. Bawa dia pergi, jika dia melawan, tembak saja, ini adalah sebuah perintah. Saya meminta dan mendapat kesempatan untuk tidak mengurusi masalah ini, mengambil pistol (yang tidak berisi peluru) dan berlari menuju ruang sein, dimana di sana terdapat sebuah ancaman dari baron De Vos van Steenwijk terhadap seorang Eropa. Katika Baron melihat saya memegang pistol, dia menjadi jinak dan perlahan mundur ke belakang. Perlahan saya mengetahui bagaimana proses pemberontakan terjadi. Rencana awalnya adalah pukul satu dini hari akan dijalankan. Siang harinya Paradji tertangkap basah ketika dia membongkar gudang amunisi, dan dilaporkan pada Gosal, tetapi dia hanya ditegur dan disuruh mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada opsir satu. Ini dikritik sebagai perbuatan bodoh sepanjang hidupnya, dan memerintahkan melalui Paradji untuk berpakaian sopan (dia mengenakan jeans pendek dan baju belel). Paradji memberitahu ke semua pimpinan dan penyerbuan pada senapan pemulur adalah sasaran berikutnya. Pemberontakan adalah sesuatu kenyataan. Ketika semua opsir merasa mulai tidak aman, saya turun ke bawah dan bertemu dengan stoker Eropa dan Indonesia yang sedang sibuk menghasilkan uap guna menjalankan mesin dan dengan hati-hati menjalankan Tujuh Propinsi ke lautan bebas saat tengah malam. Satu-satunya pengertian yang bisa diterima dari persaingan armada Indonesia akan digambarkan nanti. Pangkalan laut Oleh-leh adalah perairan yang berbahaya. Siang harinya komandan memerika dua mesin yaitu kemudi dan kapal tunda sebagai persiapan bantuan. Tujuh Propinsi berlayar hanya untuk memutar arah pada mesinnya (mesin kemudi yang sudah sempat dipasang pengunci oleh opsir) pada malam gelap. Lagipula masih terdapat banyak sekoci yang tidak sempat digerek.
Pemberontakan merupakan sebuah tamparan bagi rezim kolonial. Tidak hanya menjadi kontroversi diantara armada Eropa dan Indonesia tetapi juga diantara kelompok penduduk Indonesia. Seorang Menado memiliki gaji yang sama tingginya dengan seorang Ambon dan juga sama seperti seorang Jawa. Tetapi sekarang orang Indonesia diberi batas dan bekerja rukun untuk melayarkan Tujuh Propinsi ke Surabaya. Tamparan ini bagi rasa kesombongan orang Eropa mendapatkan gambaran bahwa orang Indonesia hanyalah pekerja rendahan yang bisa dibohongi. Tanpa mengikuti sekolah pelayarankelasi Paradji menjadi pimpinandalam pelayaran kali ini. Kelasi kelas satu Kawilaran berfungsi sebagai ahli navigasi, yang sudah banyak belajar dari navigator Eropa. Rumambi berada di bagian komunikasi telepon, Hendrik sebagai pengatur bahan baker, dan kopral Gosal yang mengurusi bagian kesehatan. Sepanjang malam saya tetap berada di ruang mesin. Saya merasa jenuh tetapi meskipun dibawa tidur tetap saja hanya tidak mempunyai banyak waktu lagi. Keesokan harinya opsir mencoba berunding untuk mengambil hati orang Indonesia. Mereka menjadi majikan di kapal, sehingga mereka harus bertanggung jawab. Satu-satunya kebenaran adalah menjadi komandan dalam pelayaran ke Surabaya dan selanjutnya tidak.
Sementara ini kami mendapat perintah, Aldebaran yang dipenuhi oleh prajurit dan sisanya opsir. Pemandangan yang aneh, seberapa cepat kapal berjalan, pada saat Paradji membidikkan meriam sekitar 15cm. Opsir-opsir menyesuaikan diri dengan keadaanyang tak terhindarkan dan memberi ijin pada personil Eropa untuk melakukan pekerjaan mereka, Oleh karena tidak ada yang lain.
Banyak telegram membanjiri ruang sein yang meminta kami memberi jawaban terhadap Berlayarlah ke Surabaya. Aksi ini ditujukan sebagai protes terhadap pemotongan gaji dan penggantian armada laut.
Empat hari berlalu tanpa ada perkembangan yang berarti.
Pada hari kelima kami mendapat perintah untuk mengerek kapal perang milik Hindia Belanda melalui pengamatan kapal penjelajah Java, tetapi pemimpin kapal Tujuh Propinsi menolak mentah-mentah perintah ini dan membalas telegram yang berisi, Tetap berlayar ke Surabaya.
Saya dipaksa menyerah, karena kami sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Tujuh Propinsi adalah salah satu kapal pelayaran tertua, pelan seperti siput, tanpa adanya pertahanan udara, dan di udara kami melihat sekelompok Dornir pesawat pengebom-. Hal ini sangat jelas bahwa kami akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Usaha saya sia-sia dan kemudian saya berjalan menuju geladak komando. Saya berjarak sekitar 10 meter ketika bom meledak, mengenai sekelompok orang yangsedang berdiri memandangi pesawat. Semburan api pun mulai menjalar ke geladak,tekanan udara membuat saya terlempar menjauhi geladak dan segera saya mencari tempat yang aman. Pesawat pengebom lainnya terbang berputar-putar tanpa menyia-nyiakan kesempatan.Selanjutnya saya berlari menuju geladak. Air mata pun membasahi pipi saya. Di sana bergelimpangan para korban, pemuda dan anak-anak. Semuanya terbakar. Yang lainnya bergulingan berlumuran darah dengan luka yang mengerikan. Seorang teman saya, pemukul gendering terluka ada sebuah lubang di dadanya-. Sementara di sana masinissedang berbagi dengan pemadam kebakaran, setiap orang berlari menuju pos dan berusaha secepatnya memadamkan api. Selanjutnya kami menghitung jumlah korban. Korban terbesar berasal dari pimpinan, Kawilarang dan Rumambi yang paling parah. Ketika api sudah dapat dipadamkan barulah opsir berdatangan, tetapi dokter menolak menangani korban untuk kami para tahanan. Kamudian datanglah sekoci dengan tentara bersenjata dan menagkap kami. Pemberontakan kapal Tujuh Propinsi pun berakhir.
Balas dendam terhadap Pemerintah Kolonial pun dimulai.
Tentu saja tidak mungkin untuk mengakui bahwa orang Indonesia-lah yang memimpin. Itu tidak bisa dan tidak boleh. Mereka masih terlalu bodoh untuk membedakan mana sisi kiri dan kanan kapal, ujar komandan di Oleh-leh dan ini cukup berpengaruh bagi kepercayaan diri orang Indonesia, sama halnya seperti persaingan kelasi menghiasi Toewan Blanda. Orang-orang Holland di kapal diorganisir dan dipimpin menjadi pemberontak, menentukan pimpinan dan semua yang diajukan cukup untuk menyesuaikan antara kenyataan dan gambaran.
Berikut situasinya, yang bersalah harus digantung dan yang paling berkesempatan untuk itu adalah saya. Apakah saya bukan termasuk pimpinan perkumpulan armada laut? Apakah saya tidak didesak untuk bekerja sama dengan armada laut Indonesia? Apakah saya memiliki radiohut? Apakah saya memiliki.. singkat kata, bukan kenyataan tetapi pimpinan armada laut menyatakan apa yang terjadi.
Setiap pernyataan dari kami sewaktu pemeriksaan tidak seseuai dengan pola pimpinan armada laut, dijawab dengan: Jebloskan pria ini ke penjara. Setiap kami mengajukan situasi yang koperatif, kamu berbohong itulah jawabannya. Kebohongan opsir diterima sebagai kebenaran yang hakiki. Dan apakah pria-pria ini berbohong. Tentu saja mereka melakukannya. Ketika mereka menegaskan penjelasan dari kami, mereka akan bersikap menyedihkan. Ketika pemberontakan menjadi dikenal dan tentunya kami harus berhati-hati terhadap para pejabat. Pembelaan kami disangkal dan dibantah atau mereka bilang sudah tidak bisa diingat lagi sudah lupa-, jawaban yang menjatuhkan kami.
Akhirnya penyelidikan berlangsung rumit, sebagai seorang opsir sekaligus saksi dan tersangka, sebagai terdakwa dan pemimpin dari sebuah pemeriksaan. Kamisudah tidak peduli lagi. Kami sadar bahwa sudah tidak ada lagi kebebasan dan kami pun berusaha menyesuaikan diri. Keadaan ini sama sekali tidak menyentuh. Kami dipindahkan dari satu penjara ke penjara lainnya sebagaimana yang dialami penjahat ataupun pembunuh. Akhirnya drama komedi ini sampai juga ke Mahkamah. Kami berusaha untuk tidak saling mengintimidasi, kami juga menyadari bahwa sangat kecil kemungkinan untuk menang.
Secara keseluruhan kami dituntut 644 tahun, saya sendiri 16 tahun. Karena kami tidak memperlihatkan bagaimana perasaan kami, terlihat kekecewaan di wajah beberapa orang pejabat. Setelah 9 bulan dalam pengasingan, setiap peristiwa menjadi suatu kegembiraan bagi saya ketika berkumpul bersama teman-teman dalam penjara-. Bagi Mahkamah Militer, lagi-lagi ini seperti komedi. Pengacara saya (dan 19 orang teman lainnya) mendesak adanyaklemasi. Sebenarnya kami tidak menginginkan klemasi, yang inginkan adalah KEADILAN. Melalui kata-kata penutup saya pun membela diri dan saya diberi keringanan 6 tahun. Putusan hakim sangat mengecewakan, 10 tahun penjara !
Kembali ke Holland. Tiga tahun penjara di Leeuwarden. Satu atap dengan pembunuh, ini lebih baik baik bila dibanding penjara Indonesia. Sebelum direktur sempat mengetahui sesuatu, muncullah desas-desus bahwa kami akan memperolah grasi pada akhir 1936 jika Putri Juliana jadi menikah. Tidak seorang pun yang menanggapi hal ini, begitu pun Pangeran Bernhard. Ternyata desas-desus itu benar. Dengan adanya pernikahan itu kami memperolah grasi ketiga, dan sisanya sebagai prasyarat saja. Sejumlah teman-teman Indonesia dibebaskan pada tahun 1942, saat Indonesia dijajah Jepang.
Artikel ini diambil dari majalah De Ulienspiegel edisi 3 Februari 1963
Sumber : Surat Pembaca nomor 3 Komisi Indonesia Communist Partij der Nederland
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Rahmat Akbar
Ya, pada waktu itu memang banyak terjadi pemberontakan. Setiap harinya pasti ada peristiwa-peristiwa menegangkan yang terjadi, selalu ada unjuk rasa dan pertemuan, serta di bagian utara Sumatera terjadi pemberontakan penduduk, Semua ini membuat pemerintah kolonial menjadi panik.
Hari-hari selanjutnya adalah hari yang berat bagi pemerintah Belanda. Pada tahun 1928-1929 di Jawa dan Sumatera banyak terjadi pemberontakan hebat yang menentang kekuasaan pemerintahan Belanda, meskipun berbagai upaya telah dicoba untuk meredam tetapi semangat pemberontakan tetap saja berkobar. Ditambah lagi dengan terjadinya krisis ekonomi dunia pada tahun 1929, dimana kas negara beberapa tahun terakhir mengalami defisit ratusan juta. Berhemat, itulah semboyan yang muncul, dan akibatnya armada laut Pelayaran Hindia Belanda pun mendapat potongan gaji sebesar 5% kemudian menjadi 8%. Pada pemotongan ketiga sebesar 10%, yang berarti ini sudah batas pemotongan.
Pada waktu itu saya adalah pemimpin Perkumpulan Armada Laut Eropa dan kami pun segera mengadakan pertemuan unjuk rasa dengan suasana hati yang berkobar-kobar. Kami mulai dengan mengirimkan sebuah telegram kepada pemerintah yang isinya antara lain adalah bahwa Badan Pengurus tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap personil armada laut untuk masih mentaati peraturan angkatan. Kemungkinan pemerintah masih syok, kami di Badan Pengurus memutuskan untuk mengadakan hubungan dengan Perkumpulan Armada Laut Pribumi yang pengurusnya sudah mulai menentang penjajahan kulit putih. Aksi kami berhasil, keesokan harinya kami mendapat berita bahwa pemotongan gaji tidak akan berlanjut.
Pimpinan armada laut terkejut. Segera tersedia sejumlah kapal berawak. Tujuannya jelas yaitu untuk menguasai peraturan kelautan dibanding daratan, dan dengan prinsip itu dipisahlah orang-orang umum dengan raddraaiers (yang ahli). Saya sendiri mendapat perintah untuk menaiki kapal Tujuh Propinsi yang dikirim untuk mengelilingi Sumatera selama dua bulan tetapi tanpa hasil. Itu adalah sebuah perjalanan, setidak-tidaknya itulah yang tertancap di benak kami sebagai pimpinan armada laut. Suasana di kapal pastinya tidak baik dan makanan tidak layak ada di sana sebagai bagian dari sebuah kesalahan yang tidak begitu penting. Sebagian makanan yang tersedia adalah persediaan makanan selama perang, yang sudah 15 tahun disimpan dan digantikan sebagai barang dagangan yang segar. Jadi selama 15 tahun kami memakan sejenis ikan laut dari kaleng dan capucijners yang diproduksi pada tahun yang sama. Senin harinya koki menyediakan knikkers dengan beberapa soda dan ini berlangsung sampai hari Kamis. Kentang Juliana , kami menyebutnya. Keluhan bertubi-tubi datang dari komandan, namun dijawab makanan itu memang tidak begitu segar tetapi masih pantas untuk dikonsumsi. Sejak awak kapal menolak mengikuti pertandingan sepak bola persahabatan dengan kesebelasan Sibolga (dengan perut kosong bagaimana mungkin kami bisa bermain sepak bola) dapat dijelaskan dengan kalimat sederhana dan siapa yang tidak ambil bagian akan dikirim ke provoost.··
Selanjutnya datang berita bahwa pemotongan gaji tetap berlaku sebesar 7%, bukan 10%. Para pemuda menjadi marah karena berita ini dan dari ruang sein kami mendengar berbagai reaksi dari para armada kapal. Di Surabaya para armada akan mengadakan unjuk rasa tetapi tidak dijinkan dan ditolak oleh dinas yang berkepentingan. Sejumlah pemuda dijebloskan ke dalam penjara. Hingga kami mengadakan pertemuan unjuk rasa di kapal Tujuh Propinsi diijinkan, baru akhirnya keluar juga kata-kata yang selama ini disembunyikan : tidak ada pembicaraan mengenai pemotongan gaji lagi.
Pada saat Bagian Kesekretariatan mengirimkan telegram yang berisi Turut prihatin dan lanjutkan aksimu, ia langsung menghilang selama 14 hari dalam penjara. Suasana pun menjadi sangat panas. Pelabuhan Oleh-leh pun dibom.
Untuk menenangkan situasi para komandan bersaing untuk membuat pesta di sekitar Oleh-leh seharga 500 gulden, dimana di sana akan bersenang-senang dan berdansa dengan wanita Eropa. Kabar ini menimbulkan kecurigaan karena dimana-mana terjadi perselisihan antara kelasi dan prajurit kolonial. Kami sangat memahami bahwa pesta ini adalah sebagai sarana untuk menarik perhatian. Sangat sedikit orang Eropa yang menghadiri pesta ini. Dan pada umumnya orang Indonesia juga tidak menghiraukan undangan ini...
Pada malam hari tanggal 3 Februari awak kapal Indonesia mengambil sebuah keputusan, pimpinan Tujuh Propinsi mengambil inisiatif untuk berlayar ke Surabaya membebaskan teman-teman yang tertangkap. Awak Eropa tidak percaya melihat hal ini. Mereka sama sekali tidakmenduga. Pagi hari tanggal 4 Februari, Ketua Cabang Perkumpulan Armada Laut Dalam Negeri, Hendrik, berkata pada saya,Malam ini kita akan berlayar ke Surabaya, tetapi saya menanggapinya sebagai sebuah gurauan. Aksi ini dipersiapkan dengan teliti, siapa yang masih hidup dia yang akan menjadi pimpinan Perkumpulan Angkatan Laut Eropa. Dengan jiwa reformisnya dia berdiri diam seharian di bagian tepi kapal terhanyut dengan pengetahuannya. Tanggal 4 Februari saya memiliki sebuah sekoci (Oleh-leh tidak mempunyaipelabuhan dan Tujuh Porpinsi berlabuh sekitar 1 sampai 1½ km dari pantai). Seharian suasana damai, beberapa pemuda pergi ke daratan, ini pun dapat dipahami. Malam harinya tiba-tiba datang seorang letnan kelas tigamengejar dan memerintahkan saya untuk membawanya ke kapal. Ternyata pimpinan sudah tewas, di bawah hati nuraninya dan komandan pun berteriak di tengah riuhnya pesta di kantin KNIL. Peristiwa ini benar-benar dianggap sebagai lelucon yang sangat lucu, tetapi membuat suram bagi salah seorang bawahan, yang sekarang sedang bersama saya menuju kapal. Ketika kami bersandar di sisi kapal, ternyata tempat kejadian tadi rusak. Segera kapaldipenuhi oleh orang-orang Indonesia bersenjata dan seorang opsir yang datang dengan tergesa-gesa. Bagian penutup meriam dipukul, amunisi mulai berbunyi, lampu sorot mulai terlepas. Di bawah, Paradji dan Gosal (pemimpin) memberi perintah, apakah mereka tidak pernah melakukan hal ini dan kotak amunisi yang berisi granat sepanjang 15cm diangkat atau ini hanyalah urusan yang berkepentingan.
Melihat raut wajah orang Indonesia yang bersenjata, terlintas dalam benak saya bahwa tidak boleh ada korban lagi! Saya berlari ke belakang dan bertemu dengan sejumlah opsir yang berbicara kasar kepada saya bahwa saya harus membuat peraturan dan menangani situasi ini. Saya pun mencoba untuk mengatur dan mengatasi keadaan ini. Saya yakin bisa melakukan yang terbaik dan mereka pun percaya. Tentu saja tidak banyak yang bisa saya lakukan. Orang-orang Indonesia sangat keras. Saya berusaha mengatasinya dengan cara tidak menembak dan keadaan baru dapat ditangani ketika ada kesepakatan bahwa tidak ada penggunaan senjata, sebagaimana yang juga dilakukan opsir.
Salah satu dari pejuang berjalan ke arah radiohut dan saya masih dapat menerima bahwa dia juga hidup melalui tiupan. Sayang sekali kopral, seru seorang Indonesia. Itu baru saja menjadi miliknya.
Saya mendengar, Kembali ke ruang kommando,. Ruang sein masih dikuasai opsir dan awak kapal bertanya apa yang harus dia lakukan. Bawa dia pergi, jika dia melawan, tembak saja, ini adalah sebuah perintah. Saya meminta dan mendapat kesempatan untuk tidak mengurusi masalah ini, mengambil pistol (yang tidak berisi peluru) dan berlari menuju ruang sein, dimana di sana terdapat sebuah ancaman dari baron De Vos van Steenwijk terhadap seorang Eropa. Katika Baron melihat saya memegang pistol, dia menjadi jinak dan perlahan mundur ke belakang. Perlahan saya mengetahui bagaimana proses pemberontakan terjadi. Rencana awalnya adalah pukul satu dini hari akan dijalankan. Siang harinya Paradji tertangkap basah ketika dia membongkar gudang amunisi, dan dilaporkan pada Gosal, tetapi dia hanya ditegur dan disuruh mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada opsir satu. Ini dikritik sebagai perbuatan bodoh sepanjang hidupnya, dan memerintahkan melalui Paradji untuk berpakaian sopan (dia mengenakan jeans pendek dan baju belel). Paradji memberitahu ke semua pimpinan dan penyerbuan pada senapan pemulur adalah sasaran berikutnya. Pemberontakan adalah sesuatu kenyataan. Ketika semua opsir merasa mulai tidak aman, saya turun ke bawah dan bertemu dengan stoker Eropa dan Indonesia yang sedang sibuk menghasilkan uap guna menjalankan mesin dan dengan hati-hati menjalankan Tujuh Propinsi ke lautan bebas saat tengah malam. Satu-satunya pengertian yang bisa diterima dari persaingan armada Indonesia akan digambarkan nanti. Pangkalan laut Oleh-leh adalah perairan yang berbahaya. Siang harinya komandan memerika dua mesin yaitu kemudi dan kapal tunda sebagai persiapan bantuan. Tujuh Propinsi berlayar hanya untuk memutar arah pada mesinnya (mesin kemudi yang sudah sempat dipasang pengunci oleh opsir) pada malam gelap. Lagipula masih terdapat banyak sekoci yang tidak sempat digerek.
Pemberontakan merupakan sebuah tamparan bagi rezim kolonial. Tidak hanya menjadi kontroversi diantara armada Eropa dan Indonesia tetapi juga diantara kelompok penduduk Indonesia. Seorang Menado memiliki gaji yang sama tingginya dengan seorang Ambon dan juga sama seperti seorang Jawa. Tetapi sekarang orang Indonesia diberi batas dan bekerja rukun untuk melayarkan Tujuh Propinsi ke Surabaya. Tamparan ini bagi rasa kesombongan orang Eropa mendapatkan gambaran bahwa orang Indonesia hanyalah pekerja rendahan yang bisa dibohongi. Tanpa mengikuti sekolah pelayarankelasi Paradji menjadi pimpinandalam pelayaran kali ini. Kelasi kelas satu Kawilaran berfungsi sebagai ahli navigasi, yang sudah banyak belajar dari navigator Eropa. Rumambi berada di bagian komunikasi telepon, Hendrik sebagai pengatur bahan baker, dan kopral Gosal yang mengurusi bagian kesehatan. Sepanjang malam saya tetap berada di ruang mesin. Saya merasa jenuh tetapi meskipun dibawa tidur tetap saja hanya tidak mempunyai banyak waktu lagi. Keesokan harinya opsir mencoba berunding untuk mengambil hati orang Indonesia. Mereka menjadi majikan di kapal, sehingga mereka harus bertanggung jawab. Satu-satunya kebenaran adalah menjadi komandan dalam pelayaran ke Surabaya dan selanjutnya tidak.
Sementara ini kami mendapat perintah, Aldebaran yang dipenuhi oleh prajurit dan sisanya opsir. Pemandangan yang aneh, seberapa cepat kapal berjalan, pada saat Paradji membidikkan meriam sekitar 15cm. Opsir-opsir menyesuaikan diri dengan keadaanyang tak terhindarkan dan memberi ijin pada personil Eropa untuk melakukan pekerjaan mereka, Oleh karena tidak ada yang lain.
Banyak telegram membanjiri ruang sein yang meminta kami memberi jawaban terhadap Berlayarlah ke Surabaya. Aksi ini ditujukan sebagai protes terhadap pemotongan gaji dan penggantian armada laut.
Empat hari berlalu tanpa ada perkembangan yang berarti.
Pada hari kelima kami mendapat perintah untuk mengerek kapal perang milik Hindia Belanda melalui pengamatan kapal penjelajah Java, tetapi pemimpin kapal Tujuh Propinsi menolak mentah-mentah perintah ini dan membalas telegram yang berisi, Tetap berlayar ke Surabaya.
Saya dipaksa menyerah, karena kami sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Tujuh Propinsi adalah salah satu kapal pelayaran tertua, pelan seperti siput, tanpa adanya pertahanan udara, dan di udara kami melihat sekelompok Dornir pesawat pengebom-. Hal ini sangat jelas bahwa kami akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Usaha saya sia-sia dan kemudian saya berjalan menuju geladak komando. Saya berjarak sekitar 10 meter ketika bom meledak, mengenai sekelompok orang yangsedang berdiri memandangi pesawat. Semburan api pun mulai menjalar ke geladak,tekanan udara membuat saya terlempar menjauhi geladak dan segera saya mencari tempat yang aman. Pesawat pengebom lainnya terbang berputar-putar tanpa menyia-nyiakan kesempatan.Selanjutnya saya berlari menuju geladak. Air mata pun membasahi pipi saya. Di sana bergelimpangan para korban, pemuda dan anak-anak. Semuanya terbakar. Yang lainnya bergulingan berlumuran darah dengan luka yang mengerikan. Seorang teman saya, pemukul gendering terluka ada sebuah lubang di dadanya-. Sementara di sana masinissedang berbagi dengan pemadam kebakaran, setiap orang berlari menuju pos dan berusaha secepatnya memadamkan api. Selanjutnya kami menghitung jumlah korban. Korban terbesar berasal dari pimpinan, Kawilarang dan Rumambi yang paling parah. Ketika api sudah dapat dipadamkan barulah opsir berdatangan, tetapi dokter menolak menangani korban untuk kami para tahanan. Kamudian datanglah sekoci dengan tentara bersenjata dan menagkap kami. Pemberontakan kapal Tujuh Propinsi pun berakhir.
Balas dendam terhadap Pemerintah Kolonial pun dimulai.
Tentu saja tidak mungkin untuk mengakui bahwa orang Indonesia-lah yang memimpin. Itu tidak bisa dan tidak boleh. Mereka masih terlalu bodoh untuk membedakan mana sisi kiri dan kanan kapal, ujar komandan di Oleh-leh dan ini cukup berpengaruh bagi kepercayaan diri orang Indonesia, sama halnya seperti persaingan kelasi menghiasi Toewan Blanda. Orang-orang Holland di kapal diorganisir dan dipimpin menjadi pemberontak, menentukan pimpinan dan semua yang diajukan cukup untuk menyesuaikan antara kenyataan dan gambaran.
Berikut situasinya, yang bersalah harus digantung dan yang paling berkesempatan untuk itu adalah saya. Apakah saya bukan termasuk pimpinan perkumpulan armada laut? Apakah saya tidak didesak untuk bekerja sama dengan armada laut Indonesia? Apakah saya memiliki radiohut? Apakah saya memiliki.. singkat kata, bukan kenyataan tetapi pimpinan armada laut menyatakan apa yang terjadi.
Setiap pernyataan dari kami sewaktu pemeriksaan tidak seseuai dengan pola pimpinan armada laut, dijawab dengan: Jebloskan pria ini ke penjara. Setiap kami mengajukan situasi yang koperatif, kamu berbohong itulah jawabannya. Kebohongan opsir diterima sebagai kebenaran yang hakiki. Dan apakah pria-pria ini berbohong. Tentu saja mereka melakukannya. Ketika mereka menegaskan penjelasan dari kami, mereka akan bersikap menyedihkan. Ketika pemberontakan menjadi dikenal dan tentunya kami harus berhati-hati terhadap para pejabat. Pembelaan kami disangkal dan dibantah atau mereka bilang sudah tidak bisa diingat lagi sudah lupa-, jawaban yang menjatuhkan kami.
Akhirnya penyelidikan berlangsung rumit, sebagai seorang opsir sekaligus saksi dan tersangka, sebagai terdakwa dan pemimpin dari sebuah pemeriksaan. Kamisudah tidak peduli lagi. Kami sadar bahwa sudah tidak ada lagi kebebasan dan kami pun berusaha menyesuaikan diri. Keadaan ini sama sekali tidak menyentuh. Kami dipindahkan dari satu penjara ke penjara lainnya sebagaimana yang dialami penjahat ataupun pembunuh. Akhirnya drama komedi ini sampai juga ke Mahkamah. Kami berusaha untuk tidak saling mengintimidasi, kami juga menyadari bahwa sangat kecil kemungkinan untuk menang.
Secara keseluruhan kami dituntut 644 tahun, saya sendiri 16 tahun. Karena kami tidak memperlihatkan bagaimana perasaan kami, terlihat kekecewaan di wajah beberapa orang pejabat. Setelah 9 bulan dalam pengasingan, setiap peristiwa menjadi suatu kegembiraan bagi saya ketika berkumpul bersama teman-teman dalam penjara-. Bagi Mahkamah Militer, lagi-lagi ini seperti komedi. Pengacara saya (dan 19 orang teman lainnya) mendesak adanyaklemasi. Sebenarnya kami tidak menginginkan klemasi, yang inginkan adalah KEADILAN. Melalui kata-kata penutup saya pun membela diri dan saya diberi keringanan 6 tahun. Putusan hakim sangat mengecewakan, 10 tahun penjara !
Kembali ke Holland. Tiga tahun penjara di Leeuwarden. Satu atap dengan pembunuh, ini lebih baik baik bila dibanding penjara Indonesia. Sebelum direktur sempat mengetahui sesuatu, muncullah desas-desus bahwa kami akan memperolah grasi pada akhir 1936 jika Putri Juliana jadi menikah. Tidak seorang pun yang menanggapi hal ini, begitu pun Pangeran Bernhard. Ternyata desas-desus itu benar. Dengan adanya pernikahan itu kami memperolah grasi ketiga, dan sisanya sebagai prasyarat saja. Sejumlah teman-teman Indonesia dibebaskan pada tahun 1942, saat Indonesia dijajah Jepang.
*****
Artikel ini diambil dari majalah De Ulienspiegel edisi 3 Februari 1963
Sumber : Surat Pembaca nomor 3 Komisi Indonesia Communist Partij der Nederland
Posting Komentar
kirimkan tanggapan anda